“Katya,
you haven’t told me why you are going to Amsterdam alone.” Kalimat Jansen
langsung menohokku. Sorot matanya tidak jahil seperti saat pertama kita
bertemu. Lebih lembut dan berhati-hati. “You really wanna know?” tanyaku
disambut anggukan Jansen.
“There’s
this man…”, Aku memulai.
“Aha!
I knew it!”, Suara keras Jansen hampir membangunkan orang di sebelahnya.
“I’m
not even finish talking!”, kataku sebal.
“OK
sorry. And then?” Wajah Jansen yang usil dan tersenyum menang berubah menjadi
ingin tahu.
“Ok.There’s
this man. I have ..mm.. feelings for him.” Kataku ragu
“Maar
(Tetapi)…?”
“Maar…
well.. I never be able to tell if he likes me back, or like me at all. He
always know exactly how to make me fond of him, but, he also disappeared whenever he wants. I’m here, with
this feeling for him, expecting something back, and he’s always capable of..you
know..dissapearing! I mean, he always come and go and why …….are you looking at
me like that?” Jansen memiliki senyum sinis pada wajahnya yang menurutku
menjadi menyebalkan.
“Ok..Katya,
how long are you waiting for this guy?”
“2
years.”
“2
years??!!” Jansen tertawa dan menggeleng.
“Don’t
you wanna move on at some point? You know it’s not going anywhere, right? Or
you just don’t know you have to move on?” Jansen menatapku gemas dan jengkel.
“I
know!” selakku sebal. “I know, but, it’s not that simple.”
“Why
are you waiting for him? OK wrong question, what are you waiting for?” selain
menyebalkan, ia ternyata memiliki kemampuan untuk menyakitiku dengan
kata-katanya yang tajam dan tepat sasaran.
Aku
menelan ludah, mengerutkan dahiku sebal “ I don’t know. Maybe, if I stay long
enough, he might realize that there is actually someone who stays.” Jawabku sekenanya.
Jansen
mundur dan merebahkan badannya ke belakang. “Wow, I really don’t understand
woman.”
“OK
forget it!” kataku sebal.
Jansen
mendengarnya dan kembali mencondongkan tubuhnya ke arahku.
“Katya,
if someone likes you, or love you, they would have no reason AT ALL to not be
with you.” Suara Jansen kembali melembut.
Darr..
Wajahku seperti tertampar. Aku tahu apa yang Jansen katakan benar. Dirikupun
tahu itu. Tapi, sepertinya aku selalu tidak mau tahu. Selama ini ternyata aku
hanya mau mendengar apa yang ingin aku dengar saja, bukan kenyataan sebenarnya.
“So
you are going to Amsterdam to “run”?”, Jansen masih penasaran
“After
my father re-married, and after all this time waiting for this man, I..…I feel
lost. I don’t know what to believe anymore. I stop believe in love, that’s for
sure. Look at my mom and dad! This is my first “run”. I never have any courage
to go anywhere alone, let alone foreign country, but, I feel overwhelmed, you
know? And all of this mess suddenly became my reasons to go alone, far from
anything. I wanna left it all behind. I just.. I think I wanna run and forget
everything that happened.”
Aku
berkata-kata menatap kosong. Membayangkan kembali semuanya, bagaimana hancurnya
hati Mama, saat pertama kali tahu bahwa ia bukan wanita satu-satunya dalam
hidup Papa, saat Karina berkali-kali melarikan diri dan bahkan mencoba bunuh
diri karena tidak tahan dengan suara teriakan satu sama lain antara Papa dan
Mama waktu itu. Ditambah , saat itu hanya ada Diego. Satu-satunya orang yang
bisa membuatku lebih kuat, walaupun ia tidak selalu ada. Mungkin juga, karena
hanya Diego tempatku melarikan diri, mungkin itulah alasan mengapa aku tidak
pernah bisa melepasnya. Dari dulu, aku bukan orang yang easy going.
Teman-temanku selalu menganggap aku anak yang pendiam, dan terlalu sibuk dengan
dunianya sendiri. Di saat semua orang asik berkumpul atau berjalan-jalan di
mall, aku lebih suka menyendiri. Bukan berarti aku kutu buku atau tidak punya
teman atau apa, tapi, aku lebih suka keheningan. Terkadang aku bisa duduk
sendirian di coffee shop, hanya membawa buku novel tebal, earphone, dan aku
bisa duduk berjam-jam larut dalam cerita yang ada di dalam novel. Aku pikir
hanya itu satu-satunya cara untuk melupakan cerita hidupku sendiri.
Kenapa
aku jadi curhat sama Jansen tentang masalah pribadi, ya?
Aku
berdeham kecil. Jansen measih memandangku. Sepertinya ia tidak tahu harus
berkata apa. Tangan Jansen meraih tanganku. Ia tidak berbicara apa-apa dan
begitu juga aku. Ia hanya menggenggamnya lama. (to be continued)
*