Thursday, February 19, 2015

CHAPTER 4 : Het Begin Van de Reis

“Katya, you haven’t told me why you are going to Amsterdam alone.” Kalimat Jansen langsung menohokku. Sorot matanya tidak jahil seperti saat pertama kita bertemu. Lebih lembut dan berhati-hati. “You really wanna know?” tanyaku disambut anggukan Jansen.
“There’s this man…”, Aku memulai.
“Aha! I knew it!”, Suara keras Jansen hampir membangunkan orang di sebelahnya.
“I’m not even finish talking!”, kataku sebal.
“OK sorry. And then?” Wajah Jansen yang usil dan tersenyum menang berubah menjadi ingin tahu.
“Ok.There’s this man. I have ..mm.. feelings for him.” Kataku ragu
“Maar (Tetapi)…?”
“Maar… well.. I never be able to tell if he likes me back, or like me at all. He always know exactly how to make me fond of him, but, he also  disappeared whenever he wants. I’m here, with this feeling for him, expecting something back, and he’s always capable of..you know..dissapearing! I mean, he always come and go and why …….are you looking at me like that?” Jansen memiliki senyum sinis pada wajahnya yang menurutku menjadi menyebalkan.
“Ok..Katya, how long are you waiting for this guy?”
“2 years.”
“2 years??!!” Jansen tertawa dan menggeleng.
“Don’t you wanna move on at some point? You know it’s not going anywhere, right? Or you just don’t know you have to move on?” Jansen menatapku gemas dan jengkel.
“I know!” selakku sebal. “I know, but, it’s not that simple.”
“Why are you waiting for him? OK wrong question, what are you waiting for?” selain menyebalkan, ia ternyata memiliki kemampuan untuk menyakitiku dengan kata-katanya yang tajam dan tepat sasaran.
Aku menelan ludah, mengerutkan dahiku sebal “ I don’t know. Maybe, if I stay long enough, he might realize that there is actually someone who stays.” Jawabku sekenanya.
Jansen mundur dan merebahkan badannya ke belakang. “Wow, I really don’t understand woman.”
“OK forget it!” kataku sebal.
Jansen mendengarnya dan kembali mencondongkan tubuhnya ke arahku.
“Katya, if someone likes you, or love you, they would have no reason AT ALL to not be with you.” Suara Jansen kembali melembut.
Darr.. Wajahku seperti tertampar. Aku tahu apa yang Jansen katakan benar. Dirikupun tahu itu. Tapi, sepertinya aku selalu tidak mau tahu. Selama ini ternyata aku hanya mau mendengar apa yang ingin aku dengar saja, bukan kenyataan sebenarnya.
“So you are going to Amsterdam to “run”?”, Jansen masih penasaran
“After my father re-married, and after all this time waiting for this man, I..…I feel lost. I don’t know what to believe anymore. I stop believe in love, that’s for sure. Look at my mom and dad! This is my first “run”. I never have any courage to go anywhere alone, let alone foreign country, but, I feel overwhelmed, you know? And all of this mess suddenly became my reasons to go alone, far from anything. I wanna left it all behind. I just.. I think I wanna run and forget everything that happened.”
Aku berkata-kata menatap kosong. Membayangkan kembali semuanya, bagaimana hancurnya hati Mama, saat pertama kali tahu bahwa ia bukan wanita satu-satunya dalam hidup Papa, saat Karina berkali-kali melarikan diri dan bahkan mencoba bunuh diri karena tidak tahan dengan suara teriakan satu sama lain antara Papa dan Mama waktu itu. Ditambah , saat itu hanya ada Diego. Satu-satunya orang yang bisa membuatku lebih kuat, walaupun ia tidak selalu ada. Mungkin juga, karena hanya Diego tempatku melarikan diri, mungkin itulah alasan mengapa aku tidak pernah bisa melepasnya. Dari dulu, aku bukan orang yang easy going. Teman-temanku selalu menganggap aku anak yang pendiam, dan terlalu sibuk dengan dunianya sendiri. Di saat semua orang asik berkumpul atau berjalan-jalan di mall, aku lebih suka menyendiri. Bukan berarti aku kutu buku atau tidak punya teman atau apa, tapi, aku lebih suka keheningan. Terkadang aku bisa duduk sendirian di coffee shop, hanya membawa buku novel tebal, earphone, dan aku bisa duduk berjam-jam larut dalam cerita yang ada di dalam novel. Aku pikir hanya itu satu-satunya cara untuk melupakan cerita hidupku sendiri.
Kenapa aku jadi curhat sama Jansen tentang masalah pribadi, ya?
Aku berdeham kecil. Jansen measih memandangku. Sepertinya ia tidak tahu harus berkata apa. Tangan Jansen meraih tanganku. Ia tidak berbicara apa-apa dan begitu juga aku. Ia hanya menggenggamnya lama. (to be continued)


*

No comments:

Post a Comment