Silau...
Aku mencoba
menyipitkan mataku, melihat sekelilingku. Kicauan burung-burung kecil di
pagi hari yang bermain-main
di depan jendela terdengar samar-samar. Salah satunya terantuk kaca jendelaku,
mungkin dikiranya jendela itu terbuka karena terlalu mengkilap. Aku mencoba menggerakan badanku yang
saat ini rasanya sakit semua.
Peristiwa semalam dengan Diego masih jelas dalam
bayanganku. Rasa marahku, air mataku, dan ciumannya yang awalnya membuatku
bahagia, tapi pada akhirnya semuanya tergantikan dengan rasa sakit, kecewa, dan
marah yang lebih hebat. Sampai akhirnya, aku melepaskan pelukannya dan akhirnya
lari meninggalkannya dalam hujan deras.
Aku
melihat kamarku, kelihatan lebih luas dalam terang matahari pagi. Sebenarnya aku sangat bingung. Aku tak bisa memutuskan apa yang harus
kulakukan hari ini. Aku masih ingat tawaran Diego kemarin yang mengajakku
bertemu. Tapi setelah semalam, Untuk apa
lagi? Dan jika aku memutuskan akan bertemu dengannya,….Lalu apa? Sekali lagi aku benar-benar merasa dipermainkan dengan bodohnya!
Sedangkan, jika
aku memang akan pergi mencari Jansen, aku benar-benar tidak tahu harus mulai
darimana.
Jansen..
Kenapa
ya aku jadi kangen? Aku kangen sikap usilnya. Aku kangen ngobrol dengannya. Dimana ya, dia? Hmm..
Aku tersenyum kecil,
mendadak aku sakit perut, jantungku deg-degan, feels like there's a
butterfly in my stomache. Entah kenapa memikirkan Jansen aku langsung
bersemangat. Masih ingat jelas permintaan Jansen kepadaku untuk mencarinya. Entah
apa yang ia pikirkan. Bagiku tidak logis. Coba pikir, bagaimana cara kita bisa
mencari seseorang, di jagat raya ini, tanpa ada alamat, hanya ada kartu
pos-kartu pos tidak bertuliskan apa-apa namun hanya ada gambar-gambar tempat? Tunggu. 'Gambar-gambar tempat'?
Aku menyibakkan selimut
yang masih menutupi ujung-ujung kakiku, beranjak ke kamar mandi dan menyiramkan
mukaku dengan air dingin. Aku
butuh berpikir!
Kukumpulkan kembali
kartu-kartu pos dari Jansen, dan aku jejerkan semuanya dengan rapi. Ada 10
kartu. Tanpa urutan apapun aku menjejerkan bersisian gambar Jembatan Luzern di Swiss,
Museum Louvre di Perancis, Brussels Grote Markt di Belgia, Oosterpark di dekat
hotelku, Quais De Seine di Perancis, Volendam di Belanda, Menara Eiffel di
Perancis, gambar rumah berjendela kecil dan penuh bunga di depan hamparan
rumput hijau di Engelberg di Swiss, Kicir kecil di Leiden dan sebuah gambar
kanal di dekatnya, dan yang terakhir potret wajah dari seorang Anne Frank dari
Anne Frank Huis di daerah Jordaan. Maksudnya aku disuruh
pergi ke tempat-tempat ini? Sebagian di antaranya kan keluar dari Belanda. Gila
juga, nih, orang!
Mendadak aku sakit perut
lagi. Kali ini bukan karena rasa tertarikku kepada Jansen, tapi lebih kepada rasa
cemas yang menghinggapiku karena tahu aku akan pergi ke tempat-tempat yang sama
sekali belum pernah kusinggahi seumur hidupku.'Unknown Terittory',
Jansen menyebutnya. Rasanya berlebihan sekali hanya karena aku akan
bepergian dari satu tempat ke tempat lain sampai secemas ini, tapi mungkin juga
karena aku tidak tahu apa yang akan kutemui sepanjang perjalananku nanti. Jika
aku berani pergi.
Walaupun sakit perut, tapi
juga sekaligus aku merasa tertarik dan tertantang. Jika aku bisa melakukan ini,
bayangkan rasanya aku bisa melihat Eiffel! Bisa ke Swiss! Akhirnya aku bisa
mengalahkan ketakutanku sendiri untuk pergi ke tempat yang baru. Sendirian. What
it would be like? Dan,
jika benar takdir itu ada, seperti kata Jansen, mungkin kita akan bertemu lagi.
Aku akan bertemu Jansen lagi.Tapi, untuk saat ini aku masih menolak ide
mengenai takdir, tentu saja. Karena there is no such thing! Kalau Jansen
benar-benar ada di depanku, aku baru percaya!
Aku memijit-mijit dahiku, mencoba membuat daftar pro dan kontra di otakku,
mencari-cari alasan mengapa aku harus dan tidak harus melakukannya. Menimbang-nimbang
jika aku pergi atau tidak. Aku tidak harus pergi. Aku bisa tidak mencarinya. Aku
bisa tinggal di Amsterdam saja sesuai rencanaku semula. Mungkin berjalan
sendirian di sepanjang sisi kanal, mengunjungi museum-museum menarik yang penuh
dengan cerita-cerita sejarah tentang negara Belanda, atau hanya menghabiskan
waktu duduk-duduk sendirian di taman tanpa tujuan. Sendirian.Tanpa tujuan.Ya,
aku bisa melakukannya.Untuk itu bukan, tujuanku pergi ke Belanda? Menikmati
pelarianku.Tanpa tujuan.Tanpa keharusan.
Tapi…
Saat ini entah kenapa aku merasa memiliki alasan lain. Alasan yang mendorongku. Lebih
kuat mengalahkan rencanaku berjalan-jalan tanpa tujuan sendirian, dengan
banyak kemungkinan bisa bertemu Diego yang ingin kulupakan di Negara Kincir Angin ini. Saat ini aku
benar-benar ingin pergi. Walaupun dengan keraguan besar dan dengan
pikiran-pikiran buruk yang tiba-tiba berkumpul jadi satu di otakku. Aku ingin
pergi. Aku tidak tahu alasannya. Apakah karena Jansen yang menarik perhatianku atau karena hanya
sekedar pembuktian kepada diriku bahwa setidaknya untuk sekali saja dalam hidupku, aku berani melakukan sesuatu.
Sepuluh menit menimbang-nimbang, akhirnya aku memutuskan untuk pergi.
*
Aku duduk di sebelah meja “Reserved for Bink”. Cahaya matahari masuk dari
jendela dan aku bisa melihat birunya langit. Hari ini cukup cerah.
“Selamat pagi.” Jorijn menyapaku dalam bahasa Inggrisnya kali ini.
“Sarapan? Kami punya banyak pilihan
sarapan pagi. Ada sereal, buah-buahan, roti, daging, dan tentu saja banyak
variasi kopi yang bisa kamu pilih dari mesin pembuat kopi.” Jorijn menunjukkan
meja prasmanan yang kini tampak berwarna-warni dari kejauhan, dipenuhi makanan
dan minuman yang menggugah selera. Aku tersenyum dan melihat sekelilingku.
Hotel ini benar-benar sepi. Baru ada aku. Hanya ada aku.
Aku berjalan dan mengambil gelas, mengisinya dengan jus jeruk. Mengambil
beberapa roti dan selai sebelum kembali ke meja.
Jorijn mendatangiku lagi. Melihat piringku yang hanya berisi dua lembar
roti gandum dan secuil selai stroberi. “Kamu tidak lapar?” tanyanya.
Aku tertawa. “Ini piring pertamaku.” Kataku disambut tawa Jorijn. Karena
kupikir aku butuh teman bicara, dan sepertinya ia juga tidak terlihat terlalu
sibuk, akhirnya aku mengajaknya duduk bersamaku. Jorijn sangat cantik. Aku melihatnya dari dekat dan
bisa melihat rambut pirangnya berkilau terkena cahaya matahari. Mata bulatnya menegaskan wajahnya yang berbentuk hati dan berlesung pipi. Ia cukup ramah, mengajakku berbicara, menanyakan
apakah aku masih dalam kondisi jet-lag.
Ia sepertinya kagum dengan kemampuan berbahasa Belandaku yang minim. Aku
sendiri banyak bertanya mengenai Negara Tulip ini dan sedikit bercerita mengenai ketakutanku bepergian
sendirian. Di tengah pembicaraan kami, Jorijn melirik ke tumpukan kartu pos yang
kubawa sarapan.”Banyak sekali kartu pos-nya. Aku rasa kamu bukan orang yang
takut bepergian jika kamu memiliki kartu pos sebanyak itu”, katanya seperti
separuh ingin tahu.
Tanganku masih memegang potongan roti saat tangan satunya memegang kartu
pos bergambar menara Eiffel. Aku menceritakan kepada Jorijn darimana asal
kartu-kartu ini dan menceritakan kepadanya tentang Jansen dan pertemuan kami,
tentang bagaimana Jansen akhirnya memintaku mencarinya tanpa petunjuk lain
selain kartu-kartu yang ia tinggalkan.
“Kurang lebih seperti film itu, kamu tahu, yang dibintangi John Cusack. Film Serendipity?”
Tentu saja aku tahu film itu, saat Jansen
mulai membawa-bawa masalah takdir, hanya itu film yang langsung kuingat. Aku mengangguk setuju. “Ya, mirip. Bedanya, di film
itu John dan Kate menyerahkan semuanya kepada takdir dan media perantaranya
hanya sebuah buku ‘Cholera’ usang.
Dalam kasusku, Jansen menginginkan aku mencarinya, dengan hanya meninggalkan
kartu-kartu ini sebagai petunjuknya. Dan satu lagi, aku agak tidak percaya yang
namanya takdir. “ Aku dapat merasakan Jorijn sangat tertarik dengan rencana pencarian
Jansen yang akan kulakukan. Matanya membesar menjadi bersemangat. Ia
mencondongkan tubuhnya,
“Bukankah itu menyenangkan? Bepergian ke tempat yang kamu tidak pernah
kunjungi dan pada akhirnya untuk mencari cinta?” Tanya Jorijn antusias
seolah-olah ia sedang memainkan permainan detektif.
Aku tersenyum ,”Bukan cinta, Jorijn. Jansen hanya seseorang yang aku temui
di bandara. Sama sekali orang asing. Sebenarnya aku takut. Aku… ini kali
pertamaku pergi sendirian ke negri orang. Aku saja belum memutuskan untuk
benar-benar akan menjelajahi Belanda, apalagi pergi ke negara lain.”
Jorijn menatapku aneh, terpancar kebingungan di wajahnya “Aku tidak
mengerti. Kamu toh bukan pergi ke
penjara, atau tempat penyiksaan. Katya, kamu akan pergi ke Paris, ‘City of Lights’, ‘City of Love’.” Jorijn
memainkan tangannya melakukan gerakan-gerakan yang menandakan sesuatu yang
sangat menarik dan indah. “Kamu juga akan pergi ke Swiss. Yang aku dengar pemandangan
di sana sangat cantik. Jadi, apa yang kamu takuti? Aku benar-benar tidak mengerti. Apa yang sebenarnya
kamu takuti? Perjalanannya atau apa?”
Jorijn pasti berpikir aku aneh dan mungkin sedikit kekanak-kanakan. Apa sih yang sebenarnya aku takuti? Iya, ya. Apa?
Jorijn berkata lagi “ Seburuk-buruknya yang akan terjadi hanyalah kamu akan
tersesat. Tapi, sekali lagi, bukankah kamu setidaknya akan tersesat di
tempat-tempat yang indah? Menurutku hidup ini cukup singkat untuk diisi dengan
ketakutan. Bukan begitu?”
Aku benar-benar tidak bisa berkata-kata. Aku merasa malu. Akhirnya aku
mengangguk “ Aku tahu. Oleh karena itu, mungkin itu menjadi suatu alasan besar
bagiku untuk memutuskan bahwa aku akan pergi.”
Jorijn menggeleng kecil dan tersenyum.Setelah kami terdiam sebentar, Jorijn
berkata lagi, “Begini saja, aku
akan menemanimu.” Aku cukup kaget dengan kata-katanya. “Ini bukan musim
liburan, hotel ini benar-benar sepi.” Jorijn melihat sekeliling memperlihatkan
wajahnya yang bosan. “Aku rasa, bos-ku tidak akan terlalu keberatan aku
meninggalkan hotel ini beberapa hari. Aku bisa meminta jatah cutiku yang tidak
pernah kuambil. Bagaimana menurutmu? Kalau kamu setuju…”
Aku tersenyum tidak percaya dan memotong kalimatnya” Tentu saja! Aku tidak
keberatan, Jorijn!!”, kataku senang.
*