Thursday, January 22, 2015

CHAPTER 3 : "Verdwaald met U"

Silau...

Aku mencoba menyipitkan mataku, melihat sekelilingku. Kicauan burung-burung kecil di pagi hari yang bermain-main di depan jendela terdengar samar-samar. Salah satunya terantuk kaca jendelaku, mungkin dikiranya jendela itu terbuka karena terlalu mengkilap. Aku mencoba menggerakan badanku yang saat ini rasanya sakit semua.
Peristiwa semalam dengan Diego masih jelas dalam bayanganku. Rasa marahku, air mataku, dan ciumannya yang awalnya membuatku bahagia, tapi pada akhirnya semuanya tergantikan dengan rasa sakit, kecewa, dan marah yang lebih hebat. Sampai akhirnya, aku melepaskan pelukannya dan akhirnya lari meninggalkannya dalam hujan deras.
 Aku melihat kamarku, kelihatan lebih luas dalam terang matahari pagi. Sebenarnya aku sangat bingung. Aku tak bisa memutuskan apa yang harus kulakukan hari ini. Aku masih ingat tawaran Diego kemarin yang mengajakku bertemu. Tapi setelah semalam, Untuk apa lagi? Dan jika aku memutuskan akan bertemu dengannya,….Lalu apa? Sekali lagi aku benar-benar merasa dipermainkan dengan bodohnya!
Sedangkan, jika aku memang akan pergi mencari Jansen, aku benar-benar tidak tahu harus mulai darimana. 
Jansen.. 
Kenapa ya aku jadi kangen? Aku kangen sikap usilnya. Aku kangen ngobrol dengannya. Dimana ya, dia? Hmm..
Aku tersenyum kecil, mendadak aku sakit perut, jantungku deg-degan, feels like there's a butterfly in my stomache. Entah kenapa memikirkan Jansen aku langsung bersemangat. Masih ingat jelas permintaan Jansen kepadaku untuk mencarinya. Entah apa yang ia pikirkan. Bagiku tidak logis. Coba pikir, bagaimana cara kita bisa mencari seseorang, di jagat raya ini, tanpa ada alamat, hanya ada kartu pos-kartu pos tidak bertuliskan apa-apa namun hanya ada gambar-gambar tempat? Tunggu. 'Gambar-gambar tempat'?
Aku menyibakkan selimut yang masih menutupi ujung-ujung kakiku, beranjak ke kamar mandi dan menyiramkan mukaku dengan air dingin. Aku butuh berpikir!
Kukumpulkan kembali kartu-kartu pos dari Jansen, dan aku jejerkan semuanya dengan rapi. Ada 10 kartu. Tanpa urutan apapun aku menjejerkan bersisian gambar Jembatan Luzern di Swiss, Museum Louvre di Perancis, Brussels Grote Markt di Belgia, Oosterpark di dekat hotelku, Quais De Seine di Perancis, Volendam di Belanda, Menara Eiffel di Perancis, gambar rumah berjendela kecil dan penuh bunga di depan hamparan rumput hijau di Engelberg di Swiss, Kicir kecil di Leiden dan sebuah gambar kanal di dekatnya, dan yang terakhir potret wajah dari seorang Anne Frank dari Anne Frank Huis di daerah Jordaan. Maksudnya aku disuruh pergi ke tempat-tempat ini? Sebagian di antaranya kan keluar dari Belanda. Gila juga, nih, orang!
 Mendadak aku sakit perut lagi. Kali ini bukan karena rasa tertarikku kepada Jansen, tapi lebih kepada rasa cemas yang menghinggapiku karena tahu aku akan pergi ke tempat-tempat yang sama sekali belum pernah kusinggahi seumur hidupku.'Unknown Terittory', Jansen menyebutnya. Rasanya berlebihan sekali hanya karena aku akan bepergian dari satu tempat ke tempat lain sampai secemas ini, tapi mungkin juga karena aku tidak tahu apa yang akan kutemui sepanjang perjalananku nanti. Jika aku berani pergi.
Walaupun sakit perut, tapi juga sekaligus aku merasa tertarik dan tertantang. Jika aku bisa melakukan ini, bayangkan rasanya aku bisa melihat Eiffel! Bisa ke Swiss! Akhirnya aku bisa mengalahkan ketakutanku sendiri untuk pergi ke tempat yang baru. Sendirian. What it would be like? Dan, jika benar takdir itu ada, seperti kata Jansen, mungkin kita akan bertemu lagi. Aku akan bertemu Jansen lagi.Tapi, untuk saat ini aku masih menolak ide mengenai takdir, tentu saja. Karena there is no such thing! Kalau Jansen benar-benar ada di depanku, aku baru percaya!
Aku memijit-mijit dahiku, mencoba membuat daftar pro dan kontra di otakku, mencari-cari alasan mengapa aku harus dan tidak harus melakukannya. Menimbang-nimbang jika aku pergi atau tidak. Aku tidak harus pergi. Aku bisa tidak mencarinya. Aku bisa tinggal di Amsterdam saja sesuai rencanaku semula. Mungkin berjalan sendirian di sepanjang sisi kanal, mengunjungi museum-museum menarik yang penuh dengan cerita-cerita sejarah tentang negara Belanda, atau hanya menghabiskan waktu duduk-duduk sendirian di taman tanpa tujuan. Sendirian.Tanpa tujuan.Ya, aku bisa melakukannya.Untuk itu bukan, tujuanku pergi ke Belanda? Menikmati pelarianku.Tanpa tujuan.Tanpa keharusan.
Tapi…
Saat ini entah kenapa aku merasa memiliki alasan lain. Alasan yang mendorongku. Lebih kuat mengalahkan rencanaku berjalan-jalan tanpa tujuan sendirian, dengan banyak kemungkinan bisa bertemu Diego yang ingin kulupakan di Negara Kincir Angin ini. Saat ini aku benar-benar ingin pergi. Walaupun dengan keraguan besar dan dengan pikiran-pikiran buruk yang tiba-tiba berkumpul jadi satu di otakku. Aku ingin pergi. Aku tidak tahu alasannya. Apakah karena Jansen yang menarik perhatianku atau karena hanya sekedar pembuktian kepada diriku bahwa setidaknya untuk sekali saja dalam hidupku, aku berani melakukan sesuatu. 
Sepuluh menit menimbang-nimbang, akhirnya aku memutuskan untuk pergi.

*

Aku duduk di sebelah meja “Reserved for Bink”. Cahaya matahari masuk dari jendela dan aku bisa melihat birunya langit. Hari ini cukup cerah.
“Selamat pagi.” Jorijn menyapaku dalam bahasa Inggrisnya kali ini.
“Sarapan? Kami  punya banyak pilihan sarapan pagi. Ada sereal, buah-buahan, roti, daging, dan tentu saja banyak variasi kopi yang bisa kamu pilih dari mesin pembuat kopi.” Jorijn menunjukkan meja prasmanan yang kini tampak berwarna-warni dari kejauhan, dipenuhi makanan dan minuman yang menggugah selera. Aku tersenyum dan melihat sekelilingku. Hotel ini benar-benar sepi. Baru ada aku. Hanya ada aku.
Aku berjalan dan mengambil gelas, mengisinya dengan jus jeruk. Mengambil beberapa roti dan selai sebelum kembali ke meja.
Jorijn mendatangiku lagi. Melihat piringku yang hanya berisi dua lembar roti gandum dan secuil selai stroberi. “Kamu tidak lapar?” tanyanya.
Aku tertawa. “Ini piring pertamaku.” Kataku disambut tawa Jorijn. Karena kupikir aku butuh teman bicara, dan sepertinya ia juga tidak terlihat terlalu sibuk, akhirnya aku mengajaknya duduk bersamaku. Jorijn sangat cantik. Aku melihatnya dari dekat dan bisa melihat rambut pirangnya berkilau terkena cahaya matahari. Mata bulatnya menegaskan wajahnya yang berbentuk hati dan berlesung pipi. Ia cukup ramah, mengajakku berbicara, menanyakan apakah aku masih dalam kondisi jet-lag. Ia sepertinya kagum dengan kemampuan berbahasa Belandaku yang minim. Aku sendiri banyak bertanya mengenai Negara Tulip ini dan sedikit bercerita mengenai ketakutanku bepergian sendirian. Di tengah pembicaraan kami, Jorijn melirik ke tumpukan kartu pos yang kubawa sarapan.”Banyak sekali kartu pos-nya. Aku rasa kamu bukan orang yang takut bepergian jika kamu memiliki kartu pos sebanyak itu”, katanya seperti separuh ingin tahu.
Tanganku masih memegang potongan roti saat tangan satunya memegang kartu pos bergambar menara Eiffel. Aku menceritakan kepada Jorijn darimana asal kartu-kartu ini dan menceritakan kepadanya tentang Jansen dan pertemuan kami, tentang bagaimana Jansen akhirnya memintaku mencarinya tanpa petunjuk lain selain kartu-kartu yang ia tinggalkan.
“Kurang lebih seperti film itu, kamu tahu, yang dibintangi John Cusack. Film Serendipity?”
Tentu saja aku tahu film itu, saat Jansen mulai membawa-bawa masalah takdir, hanya itu film yang langsung kuingat. Aku mengangguk setuju. “Ya, mirip. Bedanya, di film itu John dan Kate menyerahkan semuanya kepada takdir dan media perantaranya hanya sebuah buku Cholera usang. Dalam kasusku, Jansen menginginkan aku mencarinya, dengan hanya meninggalkan kartu-kartu ini sebagai petunjuknya. Dan satu lagi, aku agak tidak percaya yang namanya takdir. “ Aku dapat merasakan Jorijn sangat tertarik dengan rencana pencarian Jansen yang akan kulakukan. Matanya membesar menjadi bersemangat. Ia mencondongkan tubuhnya,
“Bukankah itu menyenangkan? Bepergian ke tempat yang kamu tidak pernah kunjungi dan pada akhirnya untuk mencari cinta?” Tanya Jorijn antusias seolah-olah ia sedang memainkan permainan detektif.
Aku tersenyum ,”Bukan cinta, Jorijn. Jansen hanya seseorang yang aku temui di bandara. Sama sekali orang asing. Sebenarnya aku takut. Aku… ini kali pertamaku pergi sendirian ke negri orang. Aku saja belum memutuskan untuk benar-benar akan menjelajahi Belanda, apalagi pergi ke negara lain.”
Jorijn menatapku aneh, terpancar kebingungan di wajahnya “Aku tidak mengerti. Kamu toh bukan pergi ke penjara, atau tempat penyiksaan. Katya, kamu akan pergi ke Paris, ‘City of Lights’, ‘City of Love’.” Jorijn memainkan tangannya melakukan gerakan-gerakan yang menandakan sesuatu yang sangat menarik dan indah. “Kamu juga akan pergi ke Swiss. Yang aku dengar pemandangan di sana sangat cantik. Jadi, apa yang kamu takuti? Aku benar-benar tidak mengerti. Apa yang sebenarnya kamu takuti? Perjalanannya atau apa?”
Jorijn pasti berpikir aku aneh dan mungkin sedikit kekanak-kanakan. Apa sih yang sebenarnya aku takuti? Iya, ya. Apa?
Jorijn berkata lagi “ Seburuk-buruknya yang akan terjadi hanyalah kamu akan tersesat. Tapi, sekali lagi, bukankah kamu setidaknya akan tersesat di tempat-tempat yang indah? Menurutku hidup ini cukup singkat untuk diisi dengan ketakutan. Bukan begitu?”
Aku benar-benar tidak bisa berkata-kata. Aku merasa malu. Akhirnya aku mengangguk “ Aku tahu. Oleh karena itu, mungkin itu menjadi suatu alasan besar bagiku untuk memutuskan bahwa aku akan pergi.”
Jorijn menggeleng kecil dan tersenyum.Setelah kami terdiam sebentar, Jorijn berkata lagi, “Begini saja, aku akan menemanimu.” Aku cukup kaget dengan kata-katanya. “Ini bukan musim liburan, hotel ini benar-benar sepi.” Jorijn melihat sekeliling memperlihatkan wajahnya yang bosan. “Aku rasa, bos-ku tidak akan terlalu keberatan aku meninggalkan hotel ini beberapa hari. Aku bisa meminta jatah cutiku yang tidak pernah kuambil. Bagaimana menurutmu? Kalau kamu setuju…”
Aku tersenyum tidak percaya dan memotong kalimatnya” Tentu saja! Aku tidak keberatan, Jorijn!!”, kataku senang.

 *


No comments:

Post a Comment