Tuesday, January 20, 2015

CHAPTER 1- “Epuisement de La Mémoire (Exhaustion of Memory)”

“Mba, sudah sampai.” Suara supir taksi membangunkan aku dari lamunanku. Ia mengira aku tertidur di kursi belakang dengan earphone tersangkut di telingaku. Tangan kananku memeluk ransel besar berwarna salem sementara tangan kiriku menutupi mukaku dengan kepala yang bersandar pada pintu taksi yang baru saja berhenti. Aku mencondongkan tubuhku ke depan dan mengulurkan lembaran seratus ribu kepadanya.
Aku turun dari taksi dengan malas, mencoba bergabung dengan kerumunan antrian pemeriksaan tiket para petugas bandara berbaju abu-abu. Sambil mengantri aku melihat semua orang-orang di depanku yg sibuk memegangi koper mereka. Sesampainya di sana, mereka mungkin akan disambut dengan papan nama oleh keluarganya atau setidaknya perwakilan dari hotel yang mereka tempati,pikirku. Setidaknya ada seseorang yang menunggu mereka di balik besi pintu kedatangan. Sementara aku? Aku menghela nafas panjang.
Aku mencari tempat duduk yang kosong. Ini bukan musim liburan, jadi sepertinya aku harus bersyukur aku bisa memilih bangku persis di depan jendela kaca besar tempat aku bisa melihat pesawat-pesawat terparkir di kejauhan. Aku suka sekali dengan bandara. Tidak pernah tahu kenapa. Seperti menyimpan semua cerita akan pertemuan yang mengisi kerinduan sekaligus perpisahan yang mengundang kesedihan manusia-manusia di dalamnya. Tapi bagiku, bandara hanya selalu menjadi simbol. Simbol pelarian. Lari. Lari dari sakit..Lari darimu.. Lari.
Aku ambil novel “Just One Year” kesukaanku yang ditulis oleh Gayle Forman, dan meletakkannya dipangkuanku bersama dengan boarding pass bertuliskan namaku dan tempat tujuanku. Amsterdam.
épuisement de la mémoire...” aku bergumam pelan. Dan sekali lagi aku menghela nafas panjang.
*


Waktu boarding masih lama, aku sangkutkan lagi earphone di telingaku. Lagu sang penyanyi, Tori Amos dengan lagunya “Sleeps with Butterfly” bermain-main dalam pikiranku.

Airplanes take you away again
Are you flying
Above where we live?
Then I look up a glare in my eyes
Are you having regrets about last night?
You say the word
You know I will find you
Or if you need some time
I don't mind
I don't hold on
To the tail of your kite
I'm not like the girls that you've known
But I believe I'm worth coming home to...”


Lagu ini benar-benar menggambarkan ‘dia’. Yang aku selalu takut menyebut namanya. Sering membuatku rindu setengah mati atau kesal setengah mati. Menghidupkan kembali kenangan yang berjalan tanpa ada penutup. Tanpa ada perpisahan, pernyataan, atau perkataan apapun. Hanya meninggalkan tanda tanya yang besar. Berulang-ulang...

Terbang dan pergi. Ahh bukankah memang itu pekerjaannya?
Sang pilot...

Menawan hati perempuan-perempuan yang terlena akan mimpi dibawanya terbang ke dunia seberang, London, Paris, Swiss, Prague, Amsterdam. Memuji seragam putih hitamnya yang memperlihatkan otoritas dan kelas.
Namun bagiku, dia hanya seorang Diego.
Diego yang lucu, yang konyol, yang tiba-tiba bisa membicarakan ‘Neo Nazi’ di tengah guyonannya tentang ibu gajah dan anak gajah (yang sering aku tidak mengerti, tapi tetap saja lucu karena wajahnyapun lucu saat menceritakannya).Yang bisa tiba-tiba mencairkan suasana bercengkrama dengan tukang-tukang pinggiran yang tidak dikenalnya. Yang bergerak cepat berjalan di depanku, dan tiba-tiba berhenti di saat yang sama sampai aku menabraknya dan kamipun terlihat seperti orang bodoh. Diego yang berbinar saat membicarakan soal terbang dan bagaimana dia bisa mendaratkan pesawat di bandara yang sulit sekalipun. Dia yang bisa membuat jantungku berdegup lebih kencang saat ia melihatku tajam. Yang dapat membuatku melupakan waktu dan manusia yang berinteraksi di sekeliling aku dan dia. Yang dapat membuatku berharap dengan segenap perasaan cinta, namun juga membuatku benci karenanya. Menunggu tidak akan pernah lebih baik daripada berharap. Dan aku sering sekali menunggunya. Sedangkan dia hanya datang dan pergi sesukanya. Sudah 2 tahun aku menunggunya, berharap, atau apalah namanya. Tanpa pernyataan dan tanpa status. Ah aku seperti perempuan bodoh!!, teriakku dalam hati.
Lamunan panjang tentang Diego membuatku lupa bahwa ranselku ada di lantai saat seseorang tersandung karenanya dan membuatnya jatuh tersungkur di lantai.
Sulit untuk tidak tertawa. Di saat yang sama aku kasihan padanya. Aku berdiri dari dudukku, dan mengulurkan tangan untuk membantunya. Ia melirikku kesal dan tidak menghiraukan uluran tanganku sambil menggerutu sendiri,
 “Verdomme! Dat gebeurt altijd!!!(Damn It! That always happens!!!)
Lah, dia yang jatuh sendiri, dia yang marah-marah sendiri! Aneh!
Pakai Bahasa Belanda pula. Eh meneer, gini-gini saya ngerti, loh, Bahasa Belanda. Verdomme yang pasti kasar. Altijd= Selalu. Gebeurt? Gebeurt apa ya??Huuu.. baru level 2 dengan nilai C di Erasmus Huis aja sombong!, kutukku kepada diri sendiri. Akhirnya, aku mengulurkan tanganku dan tersenyum tidak enak “He, bent u OK?”, aku bertanya apakah dia baik-baik saja.
Sejenak ia tertegun mendengarku berbicara bahasa yang sama dengannya sebelum akhirnya ia memegang tanganku dan berdiri. Matanya coklat muda, kulitnya juga tidak terlalu putih, rambutnya coklat dan sedikit ikal..tapi bahasa Belandanya fasih. Hmm.. Setahuku orang bule Belanda yang bentuknya begini, mungkin ada sedikit akar keluarga dari Suriname kali ya?, aku sok menganalisa.

“He, ik heb u gevraagd bent u OK (Hey, aku bertanya apakah kamu baik-baik saja).” Dia hanya diam dan membersihkan bagian depan bajunya dengan cuek. Ih! Kesel! Ditanya dia baik-baik aja atau ngga, malah dikacangin! Nyebelin banget sih ,nih, semi-bule!

Tiba-tiba, pengumuman penerbangan terdengar sayup-sayup.

“Dear Passengers, we are trully apologized to informed you that your flight ,AX267, destination Amsterdam has been delayed due to delayed arrival. We are apologized for the inconvenience, please find our nearest customer carefor more information. Thank You”

Aku menghela nafas kesal.
Hufffffffffff Delayed. Great! 
Kekesalanku bertambah, dan saking kesalnya aku sampai lupa sama si semi-bule tadi. Loh mana dia?Aku mengedarkan pandanganku ke sekelilingku, dan akhirnya aku menyerah karena tidak melihat dia dimanapun dan mengambil tasku untuk menghampiri customer care yang disebut-sebut tadi. Tiba-tiba,
 “ Kyaaa! Dingin!” dan pipiku pun ditempeli kaleng kopi dingin. Aku teriak keras sampai orang-orang sekelilingku nengok. Ternyata si semi-bule. Semi-bule gila!
“Don’t get mad! We’re even now, toch?” katanya sambil tertawa menang.
“Spreek je...(Kamu bicara bahasa...)” aku belum selesai bicara dan dia sudah memotong,
“English? Yes I speak English. We speak few languages back home : Dutch, English, French, and your ‘Bahasa’.” Ia tersenyum. Senyumnya manis juga. Senyumnya akhirnya membuatku lupa kekesalanku padanya.
“Dus, waar leer je Nederlands?(Jadi, dimana kamu belajar Bahasa Belanda?)”, tanyanya ingin tahu sambil duduk di sebelahku dan meneguk Nescafe dinginnya.

Setiap seseorang bertanya menggunakan bahasa Belanda, otakku bekerja lebih lama dari biasanya. Aku harus mendengarkan, lalu mengubahnya menjadi bahasa Inggris, baru menerjemahkannya ke dalam bahasa Indonesia.
“Ik heb bestudeerd Nederlands van Erasmus Huis, weet je, het een Kuningan gebied?(Aku belajar Bahasa Belanda dari Erasmus Huis, kamu tau, di daerah Kuningan?)”, kataku menjelaskan. Dia masih menyeruput kopinya sambil mengangguk.
“Waarom bent u het Nederlands leren? Is er een reden waarom u Nederlands leren en hebben voor een bezoek aan Amsterdam?", tanyanya lagi ingin tahu mengapa aku belajar bahasa Belanda dan apakah aku punya alasan tertentu untuk mengunjungi Amsterdam. Nih semi-bule ‘kepo’ banget, sih!, pikirku gemas.
Sebelum aku melanjutkan, dia sudah berkata lagi,
“ I think we have alot of time during this delayed moment, don’t you think? I’m Jansen, by the way. Jansen Roelof.” Ia tersenyum dan mengulurkan tangannya.
“Katya Orithyia.” Aku menyambut uluran tangannya.
Jansen mengernyitkan dahi “Your name is ‘unusual’” 
Aku tersenyum, “My name is half Russian and half Greek. And no, I don’t know why my parents named me that. Never ask them. What’s the meaning of a name anyway?”
Aku bisa merasakan lirikan Jansen dan aku bisa mendengarkan diriku sendiri mengulang pertanyaan terakhirku.
What’s the meaning of a name anyway?...Arti sebuah nama baru akan diingat jika penting, atau bisa dikenang, atau, dalam kasusku dengan Diego, tidak bisa dilupakan...huff..
Jansen akhirnya tidak menghiraukannya, ia malah kembali ke topik pembicaraan sebelumnya.
“You didn’t answer my question”, katanya.
“Which questions?” Aku mengerutkan dahi.
“Why are you learning Dutch and why are you visiting Amsterdam, and why....mmm are you..alone?” Jansen melirikku dan tas ransel menyedihkan yang sudah terlihat agak lusuh yang sekarang aku jepit dengan kedua kakiku. “I can sense a story there, you know.” Katanya lagi sambil tersenyum usil.
Aku tersenyum lirih padanya,
“ Well. Ancient story, Jansen. Maar zonder eventuele sluiting. Slechts fragmenten van herinneringen*.”
Aku bingung. Kenapa aku jadi curhat colongan gini sama orang asing?
“ Well, looks like I will have more than a lot of time to hear ‘your story’”
Aku masih tidak mengerti apa maksudnya sampai Jansen melihat boarding passku yang separuh muncul dari tengah2 novel yang kubawa-bawa dari tadi. Dia menunjuk ke arah boarding passku yang tertera tulisan A17 dan meletakkan boarding passnya yang tertulis A18 di sebelahnya.
Aku tertawa “Wow, look at that. We are accidentally meet altough we were supposed to meet anyway.”
Jansen ikut tertawa, “I know. It is a ‘kismet’*”.


*Maar zonder eventuele sluiting. Slechts fragmenten van herinneringen = 
Tapi tanpa adanya ‘closure”. Hanya kenangan berupa fragmen-fragmen.
*’Kismet’ = Takdir


Suara pengumuman terdengar lagi.
“Dear Passengers, we are gladly to inform you that flight AX267, destination Amsterdam will be boarding soon.Gate 5 is currently open for passengers. Kindly follow our airport ground services staff to intended gate. Thank You”

Aku dan Jansen sama-sama berdiri dan berjalan berdampingan menuju Gate 5. Di sini, orang2 berjejalan dan tidak mengantri adalah pemandangan biasa. Walaupun mereka sendiri sepertinya sadar bahwa hal itu makin memperlambat gerakan barisan dan bukan malah mempercepat. 
Aku sempat terdorong ke depan akibat seseorang mendorongku tidak sabar dari belakang. Hampir aku kehilangan kesimbangan saat Jansen menarik lenganku cepat. Ia memutar badannya dan memarahi orang di belakangku dengan Bahasa Inggrisnya yang sama sekali tidak ada aksen Belandanya. Aku tidak tahu Jansen menyadarinya atau tidak, saat ia melepaskan lenganku, aku menyentuh bagian lengan yang disentuhnya. Sesaat aku deg-degan. Aku meliriknya cepat. Ia kelihatan serius dengan dahinya yang berkerut, mungkin merasa sebal dengan barisan yang tidak rapi dan orang-orang yang tidak mau antri. Saat staff airport mempersilahkan kami maju, Jansen tiba-tiba mengambil tangan kananku dan mengenggamnya erat. Ia tidak melepaskannya sampai kita masuk ke dalam pesawat. Dan anehnya, aku tidak merasa risih. Maka aku biarkan dia menggandengku.
Tasku memang tidak terlalu besar atau berat, namun tinggiku yang hanya 154cm membuatku sulit meraih laci kabin.  Jansen harus membantu membukakannya untukku. Dia lalu mempersilahkan aku masuk lebih dahulu untuk duduk di dekat jendela. Aku memandangkeluar dari jendela yang sekarang sudah berembun separuh. Aku dapat melihat sayap pesawat yang terbentang persis di sebelahku, di bawahnya banyak staff daratbandara yang sedang sibuk mempersiapkan pesawat untuk berangkat. Orang-orang itu mengingatkan aku sejenak kepada Diego. Semua yang berhubungan dengan pesawat mengingatkanku kepadanya. Pramugari-pramugari berkaki jenjang, pramugara yang sibuk membuat pengumuman dan menghitung jumlah kami para penumpang, keluarga-keluarga yang salingbercengkerama satu sama lain walaupun mereka duduk terpisah dipisahkan oleh jalan kecil di tengah-tengah mereka, asap-asap pendingin yang keluar dari sisi langit-langit, wangi pesawat yang khas, staff-staff darat di bawah sana yang mungkin berkomunikasi dengan pilot dari kejauhan dengan ayunan lampu kerlap-kerlipnya. Semuanya mengingatkanku akan dirinya. Yang berada di tempat terdepan, dan melihat paling jelas matahari yang terselip di belakang awan-awan bertumpuk dari kejauhan.
Aku benar-benar tidak mengerti. Kenapa aku harus ingat kepada satu orang yang terus memberikan aku harapan kosong? Aku marah sekali dengan semesta, untuk apa dia datang kepadaku kalau hanya untuk membuatku merasa kangen dan mengutuknya secara bersamaan. Ingin benci tapi setiap ia kembali, yang bisa kulakukan hanyalah tersenyum dan mendengarkan cerita-ceritanya. Menganalisa paragraf demi paragraf yang keluar dari mulutnya yang mungkin..MUNGKIN..menyiratkan sedikit tanda yang mengisyaratkan dia menyukai aku seperti aku menyukainya. Seperti aku mencintainya...
 Aku benci Diego! Kata nuraniku sebelah kiri. Aku ngga benci sama Diego, aku jatuh cinta padanya dan masih akan menunggunya, kata yang kanan. Sedangkan otakku hanya berteriak kepada keduanya dan berkata, “BODOH! Seperti ngga ada laki-laki lain saja!”.
Sentuhan pundak Jansen di pundakku membuyarkan lamunanku tentang Diego. “Katya, do you believe in kismet?” tanya Jansen pelan.
“Fate?.... I want to.” jawabku skeptis.
“You don’t believe in fate?” Jansen penasaran.
“I think life is a series of plans and decisions. Not series of coincidences and small incidental accidents.” jelasku. Jansen mengernyitkan dahinya.Ia membuatku ingin mengernyitkan dahiku juga,”What?” kataku cuek.
“Katya, let me ask you this, then. You and me, right here, right now, at this moment, talking, sitting next to each other, and met before we knew where we’re gonna sit…what do you call that?” sebelum aku menjawab, dia menambahkan, “How do you even plan that?” 
Aku menggigit-gigit bibir bawah kusambil berpikir. Aku tidak menjawab pertanyaannya. “Well, there you go.”, Kata Jansen santai sambil menyandarkan kepalanya kebelakang. Ia melipat kedua tangannya di dada dan memejamkan mata.
*

Dari luar, cahaya matahari sore masuk ke dalam pesawat diiringi dengan suara mesin yang siap mengambil ancang-ancang terbang. Aku melihat kearah Jansen, ingin memperlihatkan padanya indahnya pendar matahari sore yang berwarna oranye dengan latar belakang langit yang menjadi semakin merah muda. Matanya masih terpejam, dan tangannya hampir jatuh kepangkuannya. Aku rasa ia tertidur.

Entah mengapa aku jadi memperhatikan wajahnya yang terlihat damai.Rambutnya ternyata berwarna coklat keemasan saat sinar matahari menyinari sebagian dirinya. Hidungnya mancung, garis rahangnya yang tegas membuatnya terlihat maskulin dan well.…seksi. Aku tidak menyadari bahwa pesawat sudah berada pada ketinggian beberapa kaki dari permukaan laut saat wangi aftershave-nya tercium dari tempatku duduk. Mungkin menempel pada bahuku yang saat ini sudah menjadi tempat Jansen menyandarkan kepalanya. Aku menggeleng kecil, bertanya-tanya apakah lehernya akan sakit nanti saat ia bangun karena ia bersandar pada seorang perempuan yang tubuh dan bahunya jauh lebih kecil daripada dia.
*        


Aku mencoba mengingat tempatku berada. Dimana akusekarang. Aku membuka mataku pelan. Sepi. Remang-remang. Semua penumpang tertidur lelap. Beberapa di antaranya tertidur dengan lampu baca menyala dengan buku novel tebal di pangkuan mereka. Lainnya tertidur dengan masih memakai headphones. Pramugari-pramugari berkumpul bersama di tempat duduk mereka. Sayup-sayup terdengar mereka bercanda dan tertawa pelan, sambil sesekali memperhatikan kearah kami yg masih belum mengantuk.
Aku merasakan hangat. Entah di atas belahan bumi mana tiba-tiba aku sudah memakai kaus kaki polkadot pink yang dibawakan mama. Aku masih ingat jelas, mama memasukkan banyak kaos kaki warna-warni ke dalam ranselku yang sudah menggembung kepenuhan.“Nanti disana kamu dingin”, kata mama. Ah belum juga sampai tapi aku sudah kangen wajah mama. Wajahnya yang dimakan usia, tetapi masih memperlihatkan garis-garis kecantikannya di masa muda. Matanya yang sayu karena letih, membesarkan seorang diri, aku dan Karina, adikku satu-satunya sejak papaku menikah lagi, Di tengah pikiranku tentang mama dan “si jangkung”, panggilan sayangku untuk adikku karena tinggi badannya yang menurun dari papa, karena mereka, aku sampai lupa bahwa tubuhku yang kedinginan terbungkus dengan selimut berwarna coklat muda. Dan bukan hanya itu, selimut itu membungkus kami berdua. Aku dan Jansen. Jansen dan aku. Katya dan Jansen…aku tersenyum sendiri memikirkan nama kami kusebut bersamaan. Aku melihatnya tertidur pulas di sebelahku. Ah,kenapa sih aku iniKamu baru kenal dia, Katya! Logikaku mengingatkan. Aku memang punya kelemahan. Aku orang yang cepat jatuh cinta. Aku terlalu cepat jatuh cinta, cepat sakit hati, lama terobsesi dengan perasaan sendiri, dan lama juga untuk lupa. Sekali lagi, aku menyalahkan diriku atas apa yang terjadi antara diriku dan Diego.
Apa yang salah? Pikirku. Apa yang tidak kulakukan, atau malah kulakukan yang akhirnya membuatnya pergi begitu saja tanpa penjelasan. Ugh ..aku ingin penjelasan.Lebih baik aku sakit, tetapi tahu apa salahku, daripada aku bertanya-tanya seumur hidupku.
*

Sinar matahari masuk dari jendela yang terbuka penuh. Masih dengan rambut acak-acakan, aku menguap berkali-kali. Aku melihat tempat duduk Jansen kosong. Aku menoleh ke belakang ke arah toilet. Ternyata ia sedang berbicara dengan pramugari sambil tertawa-tawa. Aku memutuskan untuk pergi dengan membawa sikat gigi dan pasta gigi kecil ke toilet satunya yang berlawanan dari tempatnya berdiri. Tidak lama kemudian, setelah aku  selesai menggosok gigiku dan berjalan kembali ke tempat dudukku, Jansen belum juga duduk. Ah..dia masih di sana, toh. Sepertinya pramugari itu sedang ‘flirting’ dengannya. Aku membalik badanku sambil duduk dan menggerutu dalam hati.
Kok aku jadi kesal sendiri, sih? Aneh..Tapi aku penasaran! Lihat lagi, ah.
Saat aku baru mau memutar badanku lagi untuk melihat Jansen dan si pramugari ‘centil’, Jansen sudah berdiri di sampingku. “Goede Morgen, Katya!” Jansen tersenyum. Aku salah tingkah seperti orang yang habis ketahuan mencuri. Aku hanya bisa tersenyum masam,” Goede Morgen..”
“We’re almost there. 30 minutes to Schipol.” Ia tersenyum senang. Mata coklatnya berbinar-binar. Ia melongok sejenak ke luar jendela, menikmati birunya langit dihiasi putihnya awan-awan tipis.
Tubuh Jansen menghadap ke arahku, wajahnya yang menghadap jendela berada di depanku, dan posisinya cukup..ehem... ‘menjanjikan’. Haduh Katya.. apa lagi yang ada dalam pikiranmu sekarang?
Jansen mundur sedikit dan memanggilku dengan suara yang berbeda dengan sebelumnya, “ Katya...”, wajahnya terlalu dekat dengan wajahku. Jansen menatapku penuh arti ehm..sepertinya..penuh arti. Sepertinya..
Jantungku berdegup kencang, “Yes?” Mataku penuh harap, dan aku menelan ludah. Pikiranku tak karuan, ah ini pasti “that uh-oh moment”, deh..aahhhh dia mau nyium aku...aduh..aduh...gimana nih...aduh..aku belum siap... penasaran juga sih..tapi apa ngga kecepetan?Aduuhh..gimana, nih...Aku panik sendiri
“Katya,.... you are sitting on my seatbelt.” Ia tersenyum, mungkin menyadari mukaku yang memerah atau mungkin di dahiku tiba-tiba ada tulisan “KE-GE-ER-AN” besar-besar.
Aku tidak bisa berkata apa-apa. Aku bisa merasakan wajahku memanas. Campuran akan perasaan malu, kecewa, dan deg-degan semua jadi satu. Fantasiku tiba-tiba buyar seketika. Sialan...
*

            Schipol. Sama seperti bandara-bandara lainnya, bandara ini ramai dan penuh orang lalu lalang. Ada yang sedang menunggu keberangkatan sambil terkantuk-kantuk, ada yang sibuk menyeret-nyeret kopernya, ada yang sibuk menukarkan uang pada money changer terdekat, ada yang mempercepat jalannya dan menembus orang-orang yang berjalan lambat di depannya....tapi, aku tahu, aku sudah bukan lagi di Soekarno-Hatta.
Amsterdam...
Jansen turun dari pesawat bersamaku. Dalam 14 jam perjalanan yang baru saja kulalui bersamanya, aku mengetahui sedikit banyak tentang dirinya. Lama-lama, aku merasa nyaman dan merasa kenal dengan seorang Jansen Roelof, 29 tahun, anak satu-satunya dari pasangan Pieter & Nienke.
Jansen memperlihatkan foto Pieter dan Nienke. Di foto yang agak pudar itu, Jansen yang saat itu masih berusia 8 tahun sedang duduk membelakangi kamera. Bahunya dirangkul oleh Pieter, yang sedang menunjuk ke arah langit sore, di pinggir sebuah pantai yang penuh dengan pasir coklat muda yang bercampur batu-batu kecil dan cangkang-cangkang hewan laut yang sudah retak.
Jansen dan Pieter terlihat sedang bercengkerama sambil menunggu matahari terbenam, sedangkan Nienke ada tidak jauh dari mereka, terlihat serius memandangi kanvas putih di depannya yang sepertinya hampir dipenuhi dengan bentuk matahari, kapal-kapal kecil, dan ombak.Di lengan dan jari-jarinya terdapat noda-noda cat minyak warna-warni yang mengering. Aku terus bertanya-tanya siapa yang mengambil foto itu, namun aku mengurungkan niat untuk menanyakannya.
Pieter tadinya seorang pelaut, memiliki jiwa petualang yang bebas, berkeliling dengan kapal kecil berwarna coklat kayu tua dan garis abu-abu pudar yang dibangunnya sendiri dan diberi nama “Victoria” seperti nama ibunya. Wajah Pieter waktu muda dan Jansen yang baru saja kukenal ini benar-benar hampir identik. Hanya saja Jansen mendapatkan ikal rambut emasnya dari Nienke. Nienke, adalah seorang pelukis impresionis lepas. Di foto itu, rambut ikalnya yang panjang diikat ke samping dan disampirkan ke bahunya. Matanya tertuju pada ujung kuas yang dipegangnya, yang menempel pada kanvas putih yang sudah setengahnya berbentuk dan berwarna.Nienke duduk tanpa alas duduk dan alas kaki di atas sebuah batu kecil di sudut pantai, ditemani dengan ember kayu berwarna hijau yang menjadi tempatnya meletakkan semua alat-alat lukisnya. Latar belakangnya adalah langit berwarna ungu dengan semburat warna jingga yang hampir pudar. Bahkan foto itu pun seperti lukisan, pikirku. “Mooi foto (Foto yang bagus).”, kataku saat  Jansen menyimpan foto itu kembali ke tempatnya. Aku membayangkan keluarga mereka dan keinginan dalam hatiku yang ingin mengenal mereka lebih dalam. Ingin mengenal Jansen lebih dalam.., bathinku.
Jansen sama denganku. Hanya membawa satu ransel besar. Ia menyatakan dirinya adalah ‘MoodPacker’ (Istilah yang dibuatnya sendiri untuk seorangbackpacker yang melakukan perjalanan sesuai dengan mood dan perasaannya).
Jansen pergi ke sebuah coffee vending machine, sedangkan aku memberikan tanda padanya bahwa aku akan pergi ke moneychanger sebentar. Aku melihat papan penunjuk jalan dengan tulisan berbahasa Belanda dan Inggris yang berada di atasku. Aku baru saja melewati kios-kios kecil di sepanjang lorong, saat pundakku ditepuk pelan,
“ Katya..”
Seketika kepalaku pusing, darahku seperti tidak mengalir ke seluruh tubuhku karena aku merasa lemas, karena tanpa melihat siapa yang memanggilku, aku tahu suara itu. Apalah arti sebuah nama, kecuali nama itu penting, kecuali nama itu dikenang, atau tidak bisa dilupakan. Aku mengulang-ngulang kalimat itu di otakku yang sepertinya kini membeku. Aku membalikkan badan. Dan disanalah dia, seorang Diego, berdiri di depanku.
Aku benar-benar tidak dapat menyembunyikan kekagetanku. Mulutku setengah menganga. Diego sedang menatapku. Aku rasa dia juga sama salah tingkahnya. Mataku menjadi sedikit buram, saat air mataku mulai berproduksi dan berkumpul di ujung-ujungnya yang saat ini tidak berani menatapnya langsung. Sampai akhirnya aku bisa mengeluarkan suaraku pelan,
” Hai, Diego.” Aku mencoba untuk tidak tersenyum, untuk tidak ramah, untuk tidak menjadi lembut dan lemah.
Kali ini mata Diego tidak berbinar-binar. Tapi matanya hanya tertuju kepadaku. Sehiruk pikuk apapun energi manusia-manusia di sekitar kami.Ia masih menggunakan seragam pilotnya dan tangan satunya menarik koper kecil di belakangnya. Di ujung mataku, aku tahu bahwa tidak jauh dari tempat kami, pramugari-pramugari dalam penerbangannya berkumpul menjadi satu kelompok. Yang semuanya melakukan hal yang sama, memeriksa lurus atau tidaknya name tag di dada mereka,dan yang lainnya memeriksa bayangan dandanan mereka dari pantulan dinding-dinding bandara.
“Aku ngga nyangka, kita akan ketemu di sini.” Kata Diego pelan sambil tersenyum. Matanya masih mencoba menyelidiki perasaanku, entah menyadari atau tidak bahwa sedikit lagi air mata ini akan jatuh. “Kamu ngapain di Amsterdam? Baru sampe atau udah mau pulang?” Matanya melirik ke ranselku.
Aku mencoba fokus pada pertanyaannya, “Baru sampe.”, jawabku. “Kamu sendiri?”
“Sama. Aku akan terbang lagi besok malam sekali.” Diego melihat ke arah jam tangannya. “Kamu menginap dimana disini? Mungkin kita bisa ketemu? Kamu sendirian aja?”
“Aku....sendirian?” akupun bertanya-tanya, seketika aku tidak peduli dengan kehadiran Diego. Aku lupa aku sedang bersama Jansen. Kemana dia?
Baru aku mau pergi mencari Jansen, Diego sudah memberikan nama hotel tempat dia menginap, dan nama restoran yang bagus tidak jauh dari situ. Dia memintaku menghubunginya. Tak lama, diapun pergi bersama kru-nya yang sudah mengajaknya pergi dari tadi.
Pikiranku tidak karuan, aku di negri orang, ketemu dengan satu wajah yang aku tidak ingin temui, setidaknya tidak dalam waktu dekat, dan aku kehilangan seseorang yang aku baru mulai tertarik untuk mengenalnya.
Aku mencari Jansen ke coffee vending machine , tempat terakhirku melihat dia. Tapi dia tidak ada di sana. Akhirnya aku duduk di kursi yang tidak jauh dari situ. Rasanya tubuh ini letih. Perjalanan belasan jam, dan pikiranku kalut, tubuhku rasanya capek tidak karuan. Aku duduk sebentar dan mencoba menyatukan kembali semua kejadian selama 24 jam terakhir di dalam pikiran dan akal sehatku. Aku menyadari aku tidak harus mencari Jansen.
Loh kan dia orang asing, hanya teman duduk di pesawat.
Tidak ada dalam rencanaku atau Jansen, bahwa kami akan berjalan bersama-sama setelah sampai di Amsterdam. Jadi, aku tidak perlu mencari Jansen. Argghh! Rasanya kepala ini pusing.Aku mengingat kembali alasanku ke Amsterdam. Untuk melarikan diri.Lari darimu. Lari..
Sekarang semuanya berantakan. Aku tambah ingin melarikan diri. Darimu, Diego, karena aku tahu aku hanya akan mengulang cerita yang sama jika aku menghabiskan waktu bersamamu, walau hanya semalam. Di sisi yang lain, aku tambah ingin melarikan diri. Kepadamu, Jansen, yang baru kukenal 14 jam. Yang memberikanku setitik harapan untuk keluar dari semua yang membelenggu perasaanku selama ini, kamu menawarkan sejuta alasan untukku pergi ke tempat yang lain, ke tempat dimana eksistensi seorang Diego hanyalah ilusi.
Tapi dimana aku harus mencarimu?
Aku tidak punya alamatmu, nomermu,atau nama belakangmu yang entah sama atau tidak dengan nama belakang orangtuamu seperti halnya di negaraku, yang hanya kausebut-sebut sebagai Pieter dan Nienke. Mau cari kemana?
Aku baru saja akan beranjak mencari taksi dan pergi ke hotel tujuanku, Rembrandt Hotel, di daerah Plantage Middenlaan  saat seorang laki-laki paruh baya berpakaian lusuh mendekatiku. Aku agak curiga dan takut. Dia tidak berkata apa-apa. Hanya memberikanku sebuah amplop besar bertuliskan namaku di atasnya.
Aku melihat kakek itu tidak mengerti. Tapi saat aku akan bertanya padanya, ia sudah membalikkan badan dan pergi. Tenagaku juga rasanya sudah habis untuk memanggilnya, jadi aku bawa amplop itu dan mulai membukanya sesaat setelah aku menemukan taksi. Isinya penuh dengan postcard. Dengan gambar-gambar, dan tempat-tempat dan di ujung2nya ada tulisan Day 1, Day 2 dst..
Aku benar-benar tidak mengerti. Ini apa sih?
Di antara postcard-postcard kosong itu, terselip secarik kertas kecil. Sebuah kwitansi dari Money Changer. Di baliknya ada tulisan :

“Dear Katya, I am sorry I left. Because I want you to find me.
I wanna show you what a ‘Real Kismet’ is.
I wanna show you that sometimes you need to get LOST before you FOUND anything that you are looking for in life.
These PostCards, are the places where I’ll be on the next 10 days. Find me. Let the universe show you how this works.
Get lost. Be found.
Only If you want to.
I’ll be waiting for you”
-Jansen-

to be continued...



No comments:

Post a Comment