Wednesday, January 21, 2015

CHAPTER 2- "Terug in De Tijd"

Chapter 2
Terug In de Tijd

“Dank U Wel.”, aku mengucapkan terima kasih dan  turun dari taksi. Masih pukul 4 sore saat aku sampai di daerah Plantage Middenlaan. Aku merapatkan jaketku.Cuaca di Belanda bisa dibilang cepat perubahannya. Sesaat cerah, sesaat mendung, lalu tiba-tiba turun rintik hujan sedikit, tidak lama kemudian cerah kembali.
 Plantage Middenlaan adalah daerah yang lumayan sepi jika dibandingkan dengan Dam Square, Max Eueweplein atau Nieuwmarkt. Jalan lintasan yang mereka punya mungkin tidak bisa disebut sebagai jalan raya. Jalan besar itu terbagi menjadi lintasan-lintasan trem, lintasan pejalan kaki, lintasan kendaraan bermotor, dan lintasan sepeda.
Lingkungan hotel Rembrandt cukup nyaman. Lebih banyak orang-orang bersepeda daripada pengguna mobil. Mungkin karena di Belanda, satu tempat dengan yang lainnya banyak yang dapat ditempuh dengan jarak dekat. Hotelku dikelilingi oleh rumah-rumah, beberapa bangunan berwarna putih yang sepertinya adalah apartemen dan ada satu coffee shop di hoek di ujung jalan. Tidak ada yang tinggi menjulang. Hampir semuanya hanya setinggi dua tingkat.
Suara klakson nyaring terdengar di belakangku. Tanpa sadar aku berada di dalam garis lintasan sepeda. Aku kaget dan segera menyingkir.
“Het spijt me. Het is mijn schuld! (Maafkan aku,ini salahku!)”, teriakku tidak enak pada seorang ibu-ibu berumur 40-an yang sedang mengendarai sepedanya. Sampai sepeda itu menjauh dari pandangan, dari gelengan kepalanya, aku rasa ia menggerutu karenaku.



Hotel Rembrandt, bukan hotel besar seperti hotel-hotel bintang lima yang sering kulihat di daerah Thamrin, Senayan atau Kuningan. Hotel tiga tingkat ini memiliki dinding berlapiskan bata merah. Tembok luarnya dirambati tanaman hijau, dan pada jendela-jendelanya terdapat kanopi berwarna merah. Tulisan Rembrandt Hotel yang agak kecil, tertutup oleh untaian-untaian tanaman rambat yang ada di sisi-sisinya. Aku harus menaiki beberapa anak tangga untuk masuk ke dalam hotel yang pada pintunya bertuliskan “Close The Door!, We have cats inside.” Aku tersenyum melihatnya, tidak dapat kubayangkan hotel-hotel di Jakarta yang memiliki tulisan seperti itu di pintu masuknya. Lalu, aku membawa ranselku masuk ke dalam. Kuedarkan pandanganku ke sekeliling ruangan mencari-cari kucing yang dimaksud. Hotel ini kecil sekali, tapi aku suka. Rasanya homy dan hangat. Lantainya dari kayu. Pada dinding dekat pintu masuk, terdapat rak berisikan kartu-kartu kecil dengan nama-nama bar, restauran, dan tempat-tempat tujuan turis.
Aku masuk ke sebuah ruangan kecil yang hangat, nyaman dan berbentuk seperti ruang tamu atau ruang baca atau.... ruang tunggu, aku tidak yakin. Ada dua sofa kulit berwarna coklat tua yang salah satunya jahitannya sudah hampir terlepas. Di belakangnya terdapat lemari buku besar berwarna sama yang diisi dengan buku-buku tebal karya lama berbahasa Belanda dan Perancis. Di depan sofa, terdapat perapian yang  menyala dan di atas perapian tersebut ada lukisan antik abad zaman pertengahan dari Sang Pelukis ternama, Rembrandt, yang juga menjadi nama dari hotel yang kutempati. 






Di meja resepsionis, terlihat ada vas besar yang kosong. Tempat yang aneh untuk meletakkan vas di situ, pikirku.
Hmm.. kok sepi ya? Ngga ada orangnya?
Tak lama, seorang perempuan berusia sekitar 30 tahunan, tinggi, bongsor dan berambut bob pirang masuk dengan satu tangannya memegang seikat bunga peony berwarna pink keunguan dan sebelah tangannya lagi memegang gunting tanaman. Ia agak kaget melihatku di depannya.Tempat ini agak sepi, mungkin ia mengira ia masih sendirian. Perempuan itu menatapku, tersenyum dan menyapa,
“Hallo, kan ik u helpen? (Hi, apakah ada yang bisa kubantu?)” Perempuan itu meletakkan peony-peony indah itu ke dalam vas besar yang berada di depannya dan memindahkannya ke meja di belakangnya.
“Ik heb een reservering. Ik blijf 3 nachten. (Saya sudah memesan kamar. Saya menginap selama 3 malam).” Kataku dengan aksen dan pengucapan bahasa Belanda yang aneh.
Ia tersenyum, “Waar kom je vandaan?(Dari mana asalmu?)”. 
“Ik kom uit Indonesia (Saya berasal dari Indonesia).” Jawabku sambil melepas ransel yang sudah terasa berat karena terlalu lama kugendong.
“Ah, Indonesië.Alleen reizen, zie ik. (Ah, Indonesia. Bepergian sendiri, sepertinya)” katanya lagi.
“Ja, Ik ben alleen.(Ya, saya sendirian)”
“Mijn naam is Jorijn.(Nama saya Jorijn). U spreken zeer goed Nederlands (Kamu berbicara Bahasa Belanda dengan sangat baik)”.
 Perempuan berwajah manis itu mengulurkan tangannya.
Aku tertawa, “Een beetje (Sedikit). Mijn is Katya. (Namaku Katya)”
Jorijn dengan ramah menyodorkan kunci kamarku sambil keluar dari ruang tamu. Ia mengantarku naik beberapa anak tangga karena ternyata kamarku hanya di ujung lorong, tidak jauh dari ruang tadi.
Kamarku hanya berukuran 2x3 meter persegi. Kamar mandi kecil berada di balik pintu kamar. Tempat tidurnya yang juga kecil dengan selimut berwarna hijau menempel dan menghadap jendela. Ada sebuah TV mini di atas sebuah rak kayu. Walaupun kecil, tapi tetap saja homy. Aku mendekat ke jendela dan membukanya. Angin sejuk masuk ke dalam kamar. Pemandangannya memang bukan laut, atau kanal, atau taman, hanya sebuah pekarangan rumah orang lain, tapi aku merasa bahagia bisa berada di tempat ini. Aku memejamkan mata dan tersenyum menikmati keberadaanku di Amsterdam.



“Dus, de dag nog steeds jongeren. Wat gaat u doen vanavond? (Jadi, hari masih siang,  Apa rencanamu malam ini?)”, tanya Jorijn sambil berjalan ke arah pintu. Ia berbalik sebentar dan melihatku. Aku hanya tersenyum dan mengangkat bahu.
Jorijn membalasnya. “Verdwalen en geniet van verloren gaat.”

Get lost and enjoy being lost... Aku menerjemahkannya dan mengernyitkan dahiku. Kata-kata itu persis seperti kata-kata Jansen. Aku jadi teringat amplop besar berisikan kartu pos-kartu pos yang ditinggalkan Jansen untukku. Aku ambil dan kubuka kembali. Kubiarkan kartu-kartu itu berserakan di atas tempat tidur.

Aku membaringkan diri di atas kartu-kartu itu. Mengambil salah satunya dari belakang kepalaku. Sebuah kartu pos bergambar OosterPark, sepertinya. OosterPark tidak jauh dari sini, pikirku. Ada sebuah tulisan dengan tinta biru di baliknya, bertuliskan “Day 2”.
Ahhh. Jansen. Kamu dimana sih sekarang?
Aku memejamkan mataku, mengingat potongan pembicaraanku dengannya saat masih di pesawat. Setelah Jansen memasukkan foto lama Pieter dan Nienke ke dalam dompetnya, ia mengeluarkan sebuah buku diari yang sudah lusuh berwarna merah. “This is where I put every journey I had when I travelled.” Katanya sambil menunjukkan isi diari itu padaku, Buku diari itu dipenuhi tulisan-tulisan, foto-foto yang ditempel acak, dan beberapa kartu pos yg diselipkan di setiap beberapa lembarnya.
Ia memperlihatkan foto-foto bangunan-bangunan tua di beberapa sudut kota Amsterdam yang tidak pernah menjadi tujuan utama turis, lorong-lorong kecil dan sempit di Paris, sebuah jembatan yang sepi di Venice, dan banyak lagi foto-foto lain seperti dermaga atau nelayan-nelayan yang sedang beristirahat di Thailand, rumah-rumah kapal di pinggir kanal di dekat Rijkmuseum,  taman Sharphati dengan rumput hijaunya yang dihinggapi burung-burung berwarna abu-abu muda, air mancur tua di Santorini yang memiliki retak pada pinggirnya, atau anak-anak kecil yang sedang berlarian saling mengejar saat bermain layang-layang di sebuah pematang di Bali. Seakan-akan seluruh perjalanan hidupnya ada dalam diari itu.
Tanpa menungguku bertanya mengenai foto-foto itu, ia berbicara lagi padaku. Matanya coklatnya menatap lurus ke mataku.


“You see, Katya, when people travel, people always remember how they got lost. Most of the time. Wandering in a strange place, meeting with people they don’t know, feel afraid of the unknown. Not knowing where to go next, where to sleep, not knowing what might happen.. BUT, one thing they always forgot, is to enjoy getting lost. Same about life, they remembered how they made wrong decisions or stay in wrong situations, but they forgot how to understand how the wrong things could show them to the right paths.”


Aku ingat aku menelan ludahku mendengarkan kalimat terakhirnya itu. Aku, Katya Orythia, perempuan berusia 27 tahun, adalah perempuan yang selalu dibayangi rasa takut. Rasa takut untuk berbuat spontan, untuk tidak mengetahui apa yang akan terjadi, rasa takut untuk tersesat dalam perjalanan menjelajahi mimpi sendiri, yaitu melihat dunia, rasa takut untuk tersesat dalam hidup, dan tentu saja, rasa takut untuk sakit karena cinta. Jansen tidak mengetahuinya, tapi aku mulai menyukainya waktu itu. Aku mulai terbawa dengan caranya memandang hidup dan semua yg berjalan salah di dalamnya.

“You see these pictures? I’m lost here. But, while I’m on my way finding the right path, I stopped, just to see, feel, and enjoy the feeling of what I might missed on the way there. Imagine Eiffel Tower. People would be there just to see it standing right in front of them, and not realizing other things around it. The carousel behind it, the woman sitting on the bench while reading her favorite book under the squared trees on the side of the tower, children dipping their feet on fountains not too far from the tower, or few teenagers putting on their earphones, laying down on a pale blanket they put under them in the park next to Eiffel or even the Gelato Booth that stands near the public toilet across from the garden and how big the smile is when a kid actually got that gelato on his hand.”

Aku membayangkan semua yang digambarkan Jansen. Membayangkan si perempuan dengan bukunya, komidi putar yang bergerak perlahan di pinggir jalan bahkan si anak kecil yang memegang gelato dengan wajah kegirangan.
“I’m afraid, Jansen, of getting lost.”, kataku.
“I’m just afraid of not getting there…, the place I should be.” Aku menghela nafas panjang.
“The scariest thing in life usually is the most worth doing. You’ll never know where it takes you. You could end up nowhere, but you could also end up somewhere. Get lost, and you’ll find your way.“ kata Jansen tersenyum saat meletakkan tangannya di atas punggung tanganku
*

Aku membereskan kartu-kartu yang berserakan itu dan meletakannya di atas meja. Hari ini cukup dingin. Kuambil jaketku dari sisi tempat tidur,memakainya dan kunaikkan resletingnya sampai ke leher. Dingin banget...Brrr.. Tiba-tiba perutku berbunyi. Aduh ..Laperrr, lagi...
Cuaca di luar masih terang walaupun sudah jam 7 malam. Aku memutuskan untuk pergi mencari makan. Kutinggalkan potongan-potongan puzzle dari Jansen sejenak. Rasanya tidak bisa berpikir jika perut keroncongan seperti ini.
Saat aku membuka pintu hendak keluar, ada seekor kucing gendut sudah duduk di atas keset kumal depan kamarku dan menatapku dengan matanya yang bulat, belo dan besar. Bulunya tebal. Kucing ini lucu sekali mukanya. Warna badannya putih, dan di badannya terdapat dua warna lain, hitam dan coklat muda.
Ahh ini dia kucing hotel yang tadi aku cari-cari...
Aku terkikik geli sendiri merasa senang menemukan makhluk bernafas lainnya selain aku dan Jorijn.
 Dia diam saja di depanku dan saat aku mendekatinya, dia bangun perlahan dan berjalan dengan malas ke ruangan sebelah kamarku, yaitu ruang makan. Ruang makan itu tidak terlalu besar. Meja-meja makannya terbuat dari kayu berwarna coklat yang dipelitur dengan licin. Dinding-dindingnya berlapiskan wallpaper  yang menggambarkan kehidupan pada zaman Reinassance dengan warna dasarnya yang hijau tua dan sentuhan klasik pada ukiran-ukiran kayu berwarna coklat tua di bagian bawahnya.


 Aku mengamati ruangan yang sepi tersebut. Ruang makan ini sekilas menyeramkan, mungkin karena hanya ada dua lampu gantung kristal yang menyala tidak terlalu terang, menerangi lukisan-lukisan kuno yang mengelilingi ruangan. Di dekat meja prasmanan, terdapat mesin pembuat kopi besar, yang memiliki tabung-tabung kecil  transparan yang berdempetan, dan didalamnya berisi kapsul-kapsul kopi kemasan berwarna-warni yang setiap saat dapat dibuat otomatis secara instan menjadi kopi siap minum. Aku memandanginya lama, tidak mengerti cara kerja mesin tersebut yang terlihat rumit. Memperhatikan instruksi pemakaiannya di sudut kiri bawah yang tercetak dalam bahasa Inggris dan Belanda. Di sebelah mesin pembuat kopi, ada 1 perapian besar berwarna sama dengan dinding ruangan. Dalam perapian tersebut kayu-kayu besar ditumpuk menjadi satu sedikit demi sedikit membuat suara percikan dan menghilang di dalam merahnya nyala api. Perapian ini yang membuat sepinya ruangan kuno menjadi hangat. Di depan perapian ada dua sofa besar bergaya kuno berwarna oranye dengan garis-garis kuning pucat, di atasnya kucing gendut tadi menggelung badannya dan tidur.


Aku berjalan melewati kucing itu yang sekarang sudah terlihat pulas, berjalan ke arah jendela-jendela transparan besar yang membatasi ruang makan dan taman belakang, hmm pekarangan orang, sih, lebih tepatnya. Di sebelah jendela besar itu, ada pintu yang sedikit terbuka, menghembuskan angin dingin masuk ke dalam.
Aku tertarik untuk melihat sebuah meja makan yang bertuliskan “reserved”. Aneh, pikirku. Aku rasa hanya ini yang bertuliskan “Reserved”. Tapi untuk siapa? Hotel sepi begini...
Aku baru mengerti setelah mendekat. Hahahaha. Ternyata untuk si gendut,  kucing yang ternyata bernama Bink. Kucing gendut yang sedang molor itu. Di meja itu terdapat gulungan benang wol biru yang ditempel ke meja. Di sebelahnya ada tulisan pada sebuah kertas “Don’t sit here. Reserved for Bink.” Aku terkikik geli lagi. Ada-ada saja...


Aku akhirnya berjalan keluar ruangan dan menuruni anak tangga. Aku mengintip ke ruang baca mencari sosok Jorijn. Tapi dia tidak terlihat. Ini hotel menyeramkan sekali, sih... cuma ada aku dan Bink..
Udara di luar ternyata lebih dingin dari di dalam. Aku menggesekan kedua telapakku dan meniupnya dengan nafasku yang sudah berubah menjadi asap? uap? embun? Ahh.. tidak ada satupun istilah yang dapat membuatku dapat menggambarkan bahwa aku dapat “melihat” nafasku sendiri karena dingin. Aku terus berjalan kaki, mencoba melihat kedai kopi di ujung jalan. Mungkin mereka menyediakan makanan berat untuk makan malam.
Sesudah berjalan beberapa langkah, aku mengurungkan niatku dan berbalik arah. Apa aku ke pusat kota saja ya? Hmm...
Aku berjalan ke daerah Plantage Kerklaan, tidak jauh dari hotelku dan di situlah aku menemukan halte trem. Kabel-kabel trem bersimpangan di atas halte tempatku duduk. Aku mulai membaca jadwal trem dan petunjuk arahnya.



Sebuah trem berwarna biru berhenti tepat di depanku, aku dan beberapa orang lain masuk bergantian. Aku merasa kagum, ya, kagum, melihat loket pembelian tiket trem ada di dalam tremnya sendiri. Di baliknya ada petugas yang duduk sepanjang waktu di sana menukarkan uang dengan tiket tujuan. 


Aku sama sekali tidak tahu tujuanku, walaupun tadi sudah melihat papan jadwal trem sekalipun. Tapi, Jansen bilang, aku harus lebih banyak tersesat, jadi dengan takut-takut dan sok berani, aku beli tiket ke Spui. Entah dimana tempat itu. Saat duduk, aku memegang tiketku dengan cemas. Aku sudah gila kali ya…sudah jam 8 malam, berada di negri orang, sendirian, dan sok-sok menyesatkan diri
Tidak sampai dua puluh  menit aku akhirnya sampai ke suatu tempat bernama Leidseplein. Aku mengingat-ingat kembali jalan yang kuambil tadi tanpa rencana, melewati daerah dengan nama-nama aneh seperti Spui, Koningsplein dan akhirnya Leidseplein. Dari Leidseplein aku memutuskan berjalan kaki. Rasa cemasku menjadi-jadi karena aku baru menyadari bahwa aku berjalan kaki di tempat tak dikenal dan sekali lagi sok berani untuk turun dari trem dan berjalan kaki, Aku terus-menerus berjalan cepat dan di otakku terus-menerus muncul skenario kemungkinan-kemungkinan terburuk yang dapat terjadi padaku. Dicopet, diculik, dibawa ke Red District atau bahkan… Hiiyyyyyy! Apa sih?! Come on, Katya! Such a loser you are jalan kaki di malam hari saja takut! Huff..katanya mau sok ‘tersesat’? Huuuu..
Aku berjalan kaki sebentar sampai akhirnya aku melihat keramaian. Musik terdengar keras tapi aku tidak tahu dari mana arahnya. Aku sampai pada sebuah bangunan besar dengan lampu-lampu warna-warni yang kelihatan bersinar terang dari jauh, dari tempatku berdiri. Aku mencoba mencari tahu dan mulai berjalan menyusuri cornblock yang agak menanjak. Tempat ini berbentuk setengah lingkaran. Semacam atrium tapi terbuka. 




Di pinggir-pinggirnya terdapat souvenirwinkels (Toko cinderamata), di depannya berupa taman yang dipenuhi meja-meja dan kursi-kursi taman dari besi dan beberapa diantaranya berpayung. Di bawahnya duduk anak-anak muda seusiaku, atau mungkin lebih muda yang sedang tertawa-tawa. Mereka duduk bergerombol berhimpitan, memegang botol bir di satu tangan dan rokok di satunya. Toko-toko cinderamata sudah tutup, karena di Belanda, hampir semua tokonya hanya buka sampai jam 6 sore.  Di sebelah toko cinderamata terdapat semacam papan permainan raksasa yang dibuat untuk dinikmati pengunjung. Diantaranya adalah papan permainan catur raksasa dimana pion-pion hitam putihnya berukuran sebesar anjing poodle dan juga permainan lainnya yang menggunakan dadu berukuran sangat besar. 


Suasananya menyenangkan, mayoritas pengunjungnya adalah anak-anak muda. Yang sebagian ‘sadar’ dan sebagian lainnya berteriak satu sama lain karena ‘menunggu sadar’. Tapi, karena saking serunya mereka bermain dan bercengkerama, tanpa sadar aku ikut tersenyum dan terkekeh melihat kelakuan mereka yang seru sendiri.


Bangunan dengan musik keras dan lampu warna-warni yang tadi kulihat dari jauh ternyata adalah Hard Rock Café, terselip di antara toko cinderamata dan tertutup oleh anak-anak muda yang kian ramai berkumpul. Aku lapar…tapi masa makan di Hard Rock Cafe? Masa jauh-jauh ke Belanda makan di HRC, di Jakarta kan juga ada. Namun, sepertinya bunyi perut mengharuskan aku untuk melangkahkan kakiku dan masuk ke dalam. Sudah bisa ditebak, tidak di negara ini atau di negaraku, yang namanya Hard Rock Café pasti ramai dan dudukpun harus antri. Aku mendekati salah satu pelayan yang bertato dan berambut gondrong untuk mendapatkan meja kosong, dan yang sudah seperti aku kira, aku masuk ke dalam daftar tunggu. Pelayan itu memberikanku alat elektronik sejenis walkie-talkie, sejenis alat komunikasi yang memudahkannya untuk menghubungiku saat aku menunggu di tengah keramaian. Aku baru akan menanyakan padanya bagaimana cara menggunakan alat ini. Namun, ia sudah disibukkan dengan turis dari Jepang yang memanggilnya berkali-kali. Aku gaptek sekali sih jadi orang.. Heran. 

Sambil membawa alat itu dan lalu memasukannya di kantong celana jeans-ku, aku berjalan ke sisi belakang kafe. Pemandangannya indah sekali. Hard Rock Cafe berdiri di depan kanal persis. Walaupun agak sempit, namun meja-meja makan berderet rapi, tersedia untuk pengunjung yang ingin menikmati pemandangan di pinggir kanal. Beberapa speedboat kecil terparkir di sisi-sisinya. 


Dari arah kiriku ada speedboat yang berjalan lambat, mengangkut  lima orang anak muda yang memegang bir di tangan mereka dan menyalakan benda kecil mirip boombox keras-keras sambil berteriak ke arah aku dan beberapa pengunjung lain di sebelahku. Mereka sepertinya sedang merayakan sesuatu dan seolah-olah mengajak kami untuk ikut berseru bersama mereka. Tawa mereka pecah saat aku dan pasangan di sebelahku menyambut teriakan mereka. Akhirnya mereka melambaikan tangan mereka saat melewati kami. Aku melihat mereka menjauh, mereka saling bergandengan dan berdansa mengikuti suara musik, yang lainnya bercanda tawa, dan yang satunya...hmmm masih melihat ke arahku... wajahnya mirip sekali dengan..ya..Jansen. Sekilas aku ingat kepadanya. Bertanya-tanya kepada diriku sendiri mengenai keberadaan dia saat ini. Sedang apa dia saat ini? Sedang bersama siapa? Sedang bersama perempuan lain yang seperti akukah? Perempuan yang dibawanya dalam keingintahuan besar tentangnya yang mendalam dan keinginan kuat untuk tenggelam dalam pemikiran-pemikirannya tentang hal-hal kosmis. Misterius. Di luar logikaku. Ya, aku memang manusia emosional dan suka terbawa perasaan atau suasana, tapi untuk hal-hal yang belum pernah terjadi atau aku alami, menurutku adalah hal-hal yang tidak logis. Aku tidak mempercayainya kecuali aku mengalaminya. Aku tidak mempercayainya kecuali ada di depanku dan aku melihatnya sendiri dengan mata kepalaku sendiri. Aku tidak mempercayainya. Atau aku tidak mau mempercayainya?, suara hatiku bertanya padaku.
Ada suara musik mengalun samar-samar. Eh, bukan musik, tapi sejenis ringtone. Aku nengok kanan dan kiri. Pasangan tadi sudah masuk ke dalam, dan aku sekarang sendirian. Darimana ya bunyinya? Aku dengarkan dengan seksama dan mencari-cari sumbernya, ternyata sumbernya adalah celanaku sendiri. Hahaha bodoh! 
Aku tarik dari sakuku, walkietalkie tadi, aku tekan dengan asal tombol-tombolnya, dan ada suara berat yang berkata "Miss Katya, your table's ready."
Aku buru-buru masuk dan mencari pemuda berambut gondrong tadi. Ia sudah melihatku dan aku memberikan tanda padanya dan mengangkat tanganku. Aku mengikutinya. Ia mengarahkan aku untuk duduk di pojok belakang. Ada meja yang sudah kosong. Ia memberikanku menu dan memberitahuku bahwa jika aku sudah siap memesan aku tinggal memanggil namanya, dia menyebutkan dirinya sebagai Jordan. Aku mengangguk pelan dan mulai membuka menu. Hmm... apa yah yang enak?
"Dua kali dalam sehari aku ketemu kamu. Kebetulan yang aneh ya, Kat?" Aku mendongak pucat, seperti sedang melihat hantu. Iya..dia hantu. Hantu masa lalu...Please, deh! Kali ini aku bukan ingin menangis, malah agak kesal dengan semesta. Anehnya, aku tidak merasakan apa yang kurasakan saat di bandara tadi sore. Aku tidak gelagapan, atau lemas, tidak deg-degan, tidak sedih. Sejujurnya, aku tidak merasakan apa-apa. Numb. Really numb.
Aku tidak berkata apa-apa saat ia 'mempersilahkan dirinya sendiri' duduk di depanku. Dengan masih tersenyum seolah tidak ada yang aneh. Aku mengernyitkan dahi, dan dalam hati mengomel lah..memang ada yang menyuruhnya duduk bareng sama aku?
Diego tersenyum. Damn! Senyumnya... ah Katya! Jangan salah fokus!
"Apa kabar Katya?", suaranya menghangat. Matanya memandangku lurus. Aku tidak bergerak. Aku merasa dia memperhatikan setiap gerak-gerikku. Setiap gerakan mataku, rambutku, bahuku, tanganku, jariku, semuanya. Aku mencoba sok tenang.
"Baik." Jawabku simple dan datar. Aku memberanikan diri menatap bib..ups mata! Mata, Katya!
"So, apa yang ngebuat kamu ke Amsterdam? Bukannya kamu dulu sering bilang ya kamu takut ke luar negri sendirian?", selidiknya ingin tahu. Diego bertanya lalu mengalihkan pandangannya ke menu yang berada di tengah kami, menariknya dan membacanya.
Kamu! Kamu yang membuatku nekat. Kamu yang membuatku pergi ke sini. Lari. Lari darimu... Aku berteriak dalam hati, saat Jordan menghampiri kami dan mencatat pesanan kami. Mendadak aku menjadi kesal, dan tidak betah. Aku tidak sabar keluar dari sini. Aku bisa merasakan ketidaktenanganku. Alisku berkerut dan entah seperti apa lagi ekspresiku sekarang. Setelah Jordan pergi, Diego menatapku lagi. Dia memandangku lama, meletakkan kedua tangannya di bawah dagunya. 
"Terakhir kali kita ketemu.." belum Diego melanjutkan, aku sudah memotong perkataannya,
“Yang besoknya kamu pergi? Tanpa ngomong? Dan ngga pernah menghubungi aku lagi berbulan-bulan sampai sekarang?” Jawabku cuek dan datar. Tanganku meraih ice tea yang baru datang dan menyeruputnya.
Wajah Diego berubah menjadi serius. “Aku…….ngga kemana-mana, Katya.”
Aku hampir tidak mendengarkannya. Rasanya seperti aku tidak mau tahu lagi. Rasanya seperti aku menyerah karena capek. Hatiku capek.
Tangannya maju ingin meraih tanganku, dengan reflek aku menarik tanganku salah tingkah. Diego lalu mengepalkan tangannya dan menghela nafas.
Saat itu Jordan datang dan membawakan pesanan kami. Aku dan Diego sama-sama makan dalam diam. Aku tidak menatapnya lagi. Aku menatap apa saja yang lain selain matanya. Aku ngga mau biarin dia bersikap seolah-olah dia ngga menyakiti aku…seolah-olah OK aja baginya untuk mengulang pola ini lagi. Dia datang, kami bersenang-senang, dia bersikap seolah-olah aku pacarnya, tapi tentu saja aku bukan pacarnya karena tidak pernah kita bicarakan ‘label’ itu. Bukan berarti aku harus seperti anak sekolah yang meminta ‘ditembak’, tapi aku perlu kejelasan. Di situ logikaku selalu menyadarkanku. Tapi…, setiap dia datang lagi, aku terbawa perasaan dan aku menyukainya, aku melupakan akal sehatku, karena rasa kangenku lebih besar, rasa sayangku, hasratku, keinginanku untuk dicintai olehnya lebih besar. Menyukai perhatiannya padaku, menyukai caranya berbicara dan memandangku, dan caranya sekilas melindungiku. Aku mau dia. Semuanya tentang dia. Tapi caranya. Caranya, perilakunya, perkataannya, semua bertolak belakang dan membingungkan. Sekali. Dua kali.Tiga kali. Lama-lama rasanya seperti dipermainkan. Nggak! Ngga bisa lagi! Ngga mau lagi! Aku teriak dalam hati.
“Aku duluan ya.” Aku berdiri dan meletakkan beberapa Euro di atas meja. Aku masih ingin sekali menghabiskan waktu bersama Diego, tapi, yang aman bagiku, bagi hati ini, adalah menjauhinya. Mata Diego melihatku seolah ia akan kehilangan sesuatu miliknya yang paling berharga. Ya, dia sepenyayang itu. Makanya aku sulit meninggalkannya, makanya aku rela beberapa tahun ini ada untuknya. Saat aku akan meninggalkannya dia menarik tanganku, “Katya, tunggu!” Suaranya terdengar panik.                                              
“Apa? Nothing’s change kan? Aku tetap nunggu kamu? Kamu dateng sesuka kamu, pergi sesuka kamu. Like always.” Kataku jutek.
“Nunggu? Aku ngga ngerti.”
“Iya, kamu emang ngga pernah ngerti!” Aku melepaskan pegangan tangannya dan melangkah cepat.”
“Katya! Tunggu dulu, kamu mau kemana?”
“Katya!” Diego masih mengejarku.

Aku buru-buru keluar dari kafe, menembus keramaian, menabrak beberapa orang mabuk yang berkumpul di luar. Aku terus berjalan cepat tak berhenti, dadaku membuncah dan penuh dengan emosi yang siap keluar. Air mata ini datang lagi. Kali ini langsung membasahi pipi-pipiku. Aku terus berjalan cepat. Aku berhenti di depan sebuah taman yang kini sudah sepi, yang hanya memperlihatkan nyala kunang-kunang dan lampu-lampunya. Badanku lemas, gemetar,dan mencoba mengumpulkan potongan-potongan kejadian tadi. Menguatkan diri.
            “Katya!”, Diego di belakangku. Ternyata dia mengikutiku. Mengejarku.
“Apa?!” Aku teriak tanpa memalingkan wajah dan tubuhku ke arahnya dan melanjutkan berjalan lagi pergi darinya.
“Tunggu!” Diego mencoba mensejajarkan langkahnya dengan langkahku.
Aku menoleh dan menghadapnya. Aku juga tidak tahu kenapa aku jadi begini berani melawannya, 
“Iya! ‘Tunggu’! Hanya itu yang aku lakuin selama ini. Aku ngerasa tolol!” , kali ini tangisku makin deras.
“Dengerin dulu…Dengerin aku.” Aku menoleh sebentar.
“Dengerin apa? Tentang bagaimana kamu terus cerita, bilang kalau kamu terus mencari? Selalu bilang kamu ingin punya pasangan, ingin menikah, ingin mencintai seseorang? Mencari apapun itu yang kamu cari, tapi di saat yang sama kamu ngga pernah puas, selalu ngasih jarak dengan siapapun yang dateng ke kamu, gitu?”
“Katya..” Diego memelankan suaranya
“Nggak! Aku ngga mau denger lagi!” Suaraku membentaknya keras dan terdengar gemetar. Seluruh badanku rasanya tegang. Semua yang kurasakan selama ini akhirnya tumpah sekarang.
Aku masih menangis saat aku membalikan badanku. Aku harus pergi dari sini. 
“Aku capek!!! Kamu ngebuat aku sayang sama kamu, nunggu kamu, selalu nyiapin diri aku untuk jadi tempat kamu pulang, kamu buat aku selalu ingin perhatian sama kamu, pengen lindungin kamu, pengen membahagiakan kamu, pengen selalu ada buat kamu..” Saat aku mengucapkan semua itu keras-keras, aku baru menyadari, ternyata aku yang salah! Aku yang selama ini mengikatkan diriku sendiri kepada Diego. Aku yang selama ini terlena dengan pandanganku sendiri dengan sosok seorang Diego. Sosok sempurna yang fiktif. Ternyata yang memiliki ekspektansi tinggi itu aku! Aku yang meletakkan diri disitu, di tempat paling rapuh, bersedia untuk disakiti, digantung, diabaikan. Ternyata aku yang salah selama ini! Bukan Diego.
Tangisku makin jadi, aku menggeleng-gelengkan kepalaku seolah aku mengasihani diriku sendiri, berpikir bagaimana diriku sendiri bisa membiarkan semua ini terjadi. Terjadi terlalu lama.
Aku tidak lagi bisa merasakan angin malam yang dingin, yang berhembus menerpa wajahku. Tiba-tiba, Diego memelukku dari belakang. Ia melingkarkan tangannya dan memelukku dari belakang, menyelimutiku dengan tubuhnya. Aku bisa merasakan dia gemetar, namun di saat yang sama pelukannya erat, sampai aku bisa mendengarkan detak jantungnya yang berdegup cepat dari belakang punggungku. Aku tidak balik memegang tangannya. Aku tidak punya tenaga untuk apapun. Aku menyerah. Aku terus menangis. Kali ini mulutku tertutup rapat. Diego merapatkan kepalanya kepada kepalaku, dan berbisik, "Katya, jangan nangis lagi.."
Diego membalikkan badanku, kini kami berhadapan, dia menatapku lemah, tersenyum sakit. Matanya meredup dan melembut. Untuk sesaat, aku rasa waktu berhenti. Kakiku kaku. Pertahananku hilang sudah. Aku memperhatikan wajah Diego, Diego yang aku sayang, yang aku cinta, yang aku mau. Diego-ku. Dengan ragu-ragu Diego maju mendekat. Tangannya diletakkan di pipi-pipiku. Ibu jarinya menyapu daguku lembut. Aku bersumpah aku bahkan tidak menyadari angin semakin kencang, daun-daun berjatuhan, badanku kedinginan, dan hujan rintik mulai jatuh saat Diego mendekatkan dan menempelkan bibirnya ke bibirku. Ia menciumku! Ia menciumku seolah-olah merindukanku lama, seolah-olah aku miliknya, dan seolah-olah dia milikku. Semua rasa sakitku hilang. Semua amarahku sirna. Seketika hanya ada aku dan dia. Bajunya basah, begitu juga aku. Hujan turun deras tapi tidak ada satupun dari kami yang peduli. Tidak satupun dari kami yang ingin beranjak. Dan sekali lagi, aku serahkan hati ini padanya. My whole heart... 
(to be continued)

*


































1 comment:

  1. mba dea...baca cerita mba dea ttg 'get lost' jadi ngingetin aku sama jesse&celline di film before sunrise atau enid di film ghost world... keep it up mba dea, aku selalu suka ide cerita tentang explore tempat baru gitu...ditunggu mba cerita sambungannya hehe ;)

    ReplyDelete