“You see, Katya, when people travel, people always remember how they got
lost. Most of the time. Wandering in a strange place, meeting with people they
don’t know, feel afraid of the unknown. Not knowing where to go next, where to
sleep, not knowing what might happen.. BUT, one thing they always forgot, is to
enjoy getting lost. Same about life, they remembered how they made wrong
decisions or stay in wrong situations, but they forgot how to understand how
the wrong things could show them to the right paths.”
Aku ingat aku menelan ludahku
mendengarkan kalimat terakhirnya itu. Aku, Katya Orythia, perempuan berusia 27 tahun, adalah perempuan yang selalu dibayangi rasa
takut. Rasa takut untuk berbuat spontan, untuk tidak mengetahui apa yang akan
terjadi, rasa takut untuk tersesat dalam perjalanan menjelajahi mimpi sendiri,
yaitu melihat dunia, rasa takut untuk tersesat dalam hidup, dan tentu saja,
rasa takut untuk sakit karena cinta. Jansen tidak mengetahuinya, tapi aku mulai
menyukainya waktu itu. Aku mulai terbawa dengan caranya memandang hidup dan
semua yg berjalan salah di dalamnya.
“You see these pictures? I’m lost here. But, while I’m on my way finding
the right path, I stopped, just to see, feel, and enjoy the feeling of what I
might missed on the way there. Imagine Eiffel Tower. People would be there just
to see it standing right in front of them, and not realizing other things
around it. The carousel behind it, the woman sitting on the bench while reading
her favorite book under the squared trees on the side of the tower, children
dipping their feet on fountains not too far from the tower, or few teenagers
putting on their earphones, laying down on a pale blanket they put under them
in the park next to Eiffel or even
the Gelato Booth that stands near the public toilet
across from the garden and how big the smile is when a kid actually got that
gelato on his hand.”
Aku membayangkan semua yang
digambarkan Jansen. Membayangkan si perempuan dengan bukunya, komidi putar yang
bergerak perlahan di pinggir jalan bahkan si anak kecil yang memegang gelato
dengan wajah kegirangan.
“I’m afraid, Jansen, of getting lost.”, kataku.
“I’m just afraid of not getting there…, the place I should be.” Aku menghela nafas panjang.
“The scariest thing in life usually is the most worth doing. You’ll
never know where it takes you. You could end up nowhere, but you could also end
up somewhere. Get lost, and you’ll find your way.“ kata Jansen tersenyum saat
meletakkan tangannya di atas punggung tanganku
*
Aku
membereskan kartu-kartu yang berserakan itu dan meletakannya di atas meja. Hari
ini cukup dingin. Kuambil jaketku dari sisi tempat tidur,memakainya dan kunaikkan
resletingnya sampai ke leher. Dingin
banget...Brrr.. Tiba-tiba perutku berbunyi. Aduh ..Laperrr, lagi...
Cuaca
di luar masih terang walaupun sudah jam 7 malam. Aku memutuskan untuk pergi
mencari makan. Kutinggalkan potongan-potongan puzzle dari Jansen sejenak. Rasanya tidak bisa berpikir jika perut
keroncongan seperti ini.
Saat
aku membuka pintu hendak keluar, ada seekor kucing gendut sudah duduk di atas
keset kumal depan kamarku dan menatapku dengan matanya yang bulat, belo dan
besar. Bulunya tebal. Kucing ini lucu sekali mukanya. Warna badannya putih, dan
di badannya terdapat dua warna lain, hitam dan coklat muda.
Ahh ini dia kucing hotel
yang tadi aku cari-cari...
Aku
terkikik geli sendiri merasa senang menemukan makhluk bernafas lainnya selain
aku dan Jorijn.
Dia diam saja di depanku dan saat aku
mendekatinya, dia bangun perlahan dan berjalan dengan malas ke ruangan sebelah
kamarku, yaitu ruang makan. Ruang makan itu tidak terlalu besar. Meja-meja
makannya terbuat dari kayu berwarna coklat yang dipelitur dengan licin.
Dinding-dindingnya berlapiskan wallpaper yang menggambarkan kehidupan pada zaman
Reinassance dengan warna dasarnya yang hijau tua dan sentuhan klasik pada
ukiran-ukiran kayu berwarna coklat tua di bagian bawahnya.
Aku mengamati ruangan
yang sepi tersebut. Ruang makan ini sekilas menyeramkan, mungkin karena hanya
ada dua lampu gantung kristal yang menyala tidak terlalu terang, menerangi
lukisan-lukisan kuno yang mengelilingi ruangan. Di dekat meja prasmanan,
terdapat mesin pembuat kopi besar, yang memiliki tabung-tabung kecil transparan yang berdempetan, dan didalamnya
berisi kapsul-kapsul kopi kemasan berwarna-warni yang setiap saat dapat dibuat
otomatis secara instan menjadi kopi siap minum. Aku memandanginya lama, tidak
mengerti cara kerja mesin tersebut yang terlihat rumit. Memperhatikan instruksi
pemakaiannya di sudut kiri bawah yang tercetak dalam bahasa Inggris dan
Belanda. Di sebelah mesin pembuat kopi, ada 1 perapian besar berwarna sama
dengan dinding ruangan. Dalam perapian tersebut kayu-kayu besar ditumpuk
menjadi satu sedikit demi sedikit membuat suara percikan dan menghilang di
dalam merahnya nyala api. Perapian ini yang membuat sepinya ruangan kuno
menjadi hangat. Di depan perapian ada dua sofa besar bergaya kuno berwarna
oranye dengan garis-garis kuning pucat, di atasnya kucing gendut tadi menggelung badannya dan tidur.
Aku
berjalan melewati kucing itu yang sekarang sudah terlihat pulas, berjalan ke
arah jendela-jendela transparan besar yang membatasi ruang makan dan taman
belakang, hmm pekarangan orang, sih,
lebih tepatnya. Di sebelah jendela besar itu, ada pintu yang sedikit terbuka,
menghembuskan angin dingin masuk ke dalam.
Aku
tertarik untuk melihat sebuah meja makan yang bertuliskan “reserved”. Aneh, pikirku. Aku rasa hanya ini yang
bertuliskan “Reserved”. Tapi untuk siapa?
Hotel sepi begini...
Aku
baru mengerti setelah mendekat. Hahahaha. Ternyata untuk si gendut, kucing yang ternyata bernama Bink. Kucing
gendut yang sedang molor itu. Di meja itu terdapat gulungan benang wol biru
yang ditempel ke meja. Di sebelahnya ada tulisan pada sebuah kertas “Don’t sit
here. Reserved for Bink.” Aku terkikik geli lagi. Ada-ada saja...
Aku
akhirnya berjalan keluar ruangan dan menuruni anak tangga. Aku mengintip ke
ruang baca mencari sosok Jorijn. Tapi dia tidak terlihat. Ini hotel menyeramkan sekali, sih... cuma ada aku dan Bink..
Udara
di luar ternyata lebih dingin dari di dalam. Aku menggesekan kedua telapakku
dan meniupnya dengan nafasku yang sudah berubah menjadi asap? uap? embun? Ahh..
tidak ada satupun istilah yang dapat membuatku dapat menggambarkan bahwa aku
dapat “melihat” nafasku sendiri karena dingin. Aku terus berjalan kaki, mencoba
melihat kedai kopi di ujung jalan. Mungkin mereka menyediakan makanan berat
untuk makan malam.
Sesudah
berjalan beberapa langkah, aku mengurungkan niatku dan berbalik arah. Apa aku ke pusat kota saja ya? Hmm...
Aku
berjalan ke daerah Plantage Kerklaan, tidak jauh dari hotelku dan di situlah
aku menemukan halte trem. Kabel-kabel trem bersimpangan di atas halte tempatku
duduk. Aku mulai membaca jadwal trem dan petunjuk arahnya.
Sebuah trem berwarna biru
berhenti tepat di depanku, aku dan beberapa orang lain masuk bergantian. Aku
merasa kagum, ya, kagum, melihat loket pembelian tiket trem ada di dalam
tremnya sendiri. Di baliknya ada petugas yang duduk sepanjang waktu di sana
menukarkan uang dengan tiket tujuan.
Aku sama sekali tidak tahu tujuanku,
walaupun tadi sudah melihat papan jadwal trem sekalipun. Tapi, Jansen bilang,
aku harus lebih banyak tersesat, jadi dengan takut-takut dan sok berani, aku
beli tiket ke Spui. Entah dimana tempat itu. Saat duduk, aku memegang tiketku
dengan cemas. Aku sudah gila kali
ya…sudah jam 8 malam, berada di negri orang, sendirian, dan sok-sok menyesatkan
diri…
Tidak sampai dua puluh menit aku akhirnya sampai ke suatu tempat
bernama Leidseplein. Aku mengingat-ingat kembali jalan yang kuambil tadi tanpa
rencana, melewati daerah dengan nama-nama aneh seperti Spui, Koningsplein dan
akhirnya Leidseplein. Dari Leidseplein aku memutuskan berjalan kaki. Rasa
cemasku menjadi-jadi karena aku baru menyadari bahwa aku berjalan kaki di
tempat tak dikenal dan sekali lagi sok berani untuk turun dari trem dan
berjalan kaki, Aku terus-menerus berjalan cepat dan di otakku terus-menerus
muncul skenario kemungkinan-kemungkinan terburuk yang dapat terjadi padaku.
Dicopet, diculik, dibawa ke Red District atau bahkan… Hiiyyyyyy! Apa sih?! Come on, Katya! Such a loser you are jalan kaki di
malam hari saja takut! Huff..katanya mau sok ‘tersesat’? Huuuu..
Aku berjalan kaki sebentar sampai
akhirnya aku melihat keramaian. Musik terdengar keras tapi aku tidak tahu dari
mana arahnya. Aku sampai pada sebuah bangunan besar dengan lampu-lampu
warna-warni yang kelihatan bersinar terang dari jauh, dari tempatku berdiri.
Aku mencoba mencari tahu dan mulai berjalan menyusuri cornblock yang agak menanjak. Tempat ini berbentuk setengah lingkaran.
Semacam atrium tapi terbuka.
Di pinggir-pinggirnya terdapat souvenirwinkels (Toko cinderamata), di
depannya berupa taman yang dipenuhi meja-meja dan kursi-kursi
taman dari besi dan
beberapa diantaranya berpayung.
Di bawahnya duduk anak-anak muda seusiaku, atau mungkin lebih muda yang sedang
tertawa-tawa. Mereka duduk bergerombol berhimpitan, memegang botol bir di satu
tangan dan rokok di satunya. Toko-toko cinderamata sudah tutup, karena di
Belanda, hampir semua tokonya hanya buka sampai jam 6 sore. Di sebelah toko cinderamata terdapat semacam
papan permainan raksasa yang dibuat untuk dinikmati pengunjung. Diantaranya
adalah papan permainan catur raksasa dimana pion-pion hitam putihnya berukuran
sebesar anjing poodle dan juga permainan lainnya yang menggunakan dadu
berukuran sangat besar.
Suasananya menyenangkan, mayoritas pengunjungnya adalah
anak-anak muda. Yang sebagian ‘sadar’ dan sebagian lainnya berteriak satu sama
lain karena ‘menunggu sadar’. Tapi, karena saking serunya mereka bermain dan
bercengkerama, tanpa sadar aku ikut tersenyum dan terkekeh melihat kelakuan
mereka
yang seru sendiri.
Bangunan dengan musik keras dan
lampu warna-warni yang tadi kulihat dari jauh ternyata adalah Hard Rock Café,
terselip di antara toko cinderamata dan tertutup oleh anak-anak muda yang kian
ramai berkumpul. Aku lapar…tapi masa makan di Hard Rock Cafe? Masa jauh-jauh ke Belanda makan di
HRC,
di Jakarta kan juga ada. Namun,
sepertinya bunyi perut mengharuskan aku untuk melangkahkan kakiku dan masuk ke
dalam. Sudah bisa ditebak, tidak di negara ini atau di negaraku, yang namanya
Hard Rock Café pasti ramai dan dudukpun harus antri. Aku mendekati salah satu
pelayan yang bertato dan berambut gondrong untuk mendapatkan meja kosong, dan
yang sudah seperti aku kira, aku masuk ke dalam daftar tunggu. Pelayan itu
memberikanku alat elektronik sejenis walkie-talkie,
sejenis alat komunikasi yang memudahkannya untuk menghubungiku saat aku
menunggu di tengah keramaian. Aku baru akan menanyakan padanya bagaimana cara
menggunakan alat ini. Namun, ia sudah disibukkan dengan turis dari Jepang yang
memanggilnya berkali-kali. Aku gaptek
sekali sih jadi orang.. Heran.
Sambil membawa alat itu dan lalu memasukannya di kantong celana jeans-ku, aku berjalan ke sisi belakang kafe. Pemandangannya indah sekali. Hard Rock Cafe berdiri di depan kanal persis. Walaupun agak sempit, namun meja-meja makan berderet rapi, tersedia untuk pengunjung yang ingin menikmati pemandangan di pinggir kanal. Beberapa speedboat kecil terparkir di sisi-sisinya.
Dari arah kiriku ada speedboat yang berjalan lambat, mengangkut lima orang anak muda yang memegang bir di tangan mereka dan menyalakan benda kecil mirip boombox keras-keras sambil berteriak ke arah aku dan beberapa pengunjung lain di sebelahku. Mereka sepertinya sedang merayakan sesuatu dan seolah-olah mengajak kami untuk ikut berseru bersama mereka. Tawa mereka pecah saat aku dan pasangan di sebelahku menyambut teriakan mereka. Akhirnya mereka melambaikan tangan mereka saat melewati kami. Aku melihat mereka menjauh, mereka saling bergandengan dan berdansa mengikuti suara musik, yang lainnya bercanda tawa, dan yang satunya...hmmm masih melihat ke arahku... wajahnya mirip sekali dengan..ya..Jansen. Sekilas aku ingat kepadanya. Bertanya-tanya kepada diriku sendiri mengenai keberadaan dia saat ini. Sedang apa dia saat ini? Sedang bersama siapa? Sedang bersama perempuan lain yang seperti akukah? Perempuan yang dibawanya dalam keingintahuan besar tentangnya yang mendalam dan keinginan kuat untuk tenggelam dalam pemikiran-pemikirannya tentang hal-hal kosmis. Misterius. Di luar logikaku. Ya, aku memang manusia emosional dan suka terbawa perasaan atau suasana, tapi untuk hal-hal yang belum pernah terjadi atau aku alami, menurutku adalah hal-hal yang tidak logis. Aku tidak mempercayainya kecuali aku mengalaminya. Aku tidak mempercayainya kecuali ada di depanku dan aku melihatnya sendiri dengan mata kepalaku sendiri. Aku tidak mempercayainya. Atau aku tidak mau mempercayainya?, suara hatiku bertanya padaku.
Ada suara musik mengalun samar-samar. Eh, bukan musik, tapi sejenis ringtone. Aku nengok kanan dan kiri. Pasangan tadi sudah masuk ke dalam, dan aku sekarang sendirian. Darimana ya bunyinya? Aku dengarkan dengan seksama dan mencari-cari sumbernya, ternyata sumbernya adalah celanaku sendiri. Hahaha bodoh!
Aku tarik dari sakuku, walkietalkie tadi, aku tekan dengan asal tombol-tombolnya, dan ada suara berat yang berkata "Miss Katya, your table's ready."
Aku buru-buru masuk dan mencari pemuda berambut gondrong tadi. Ia sudah melihatku dan aku memberikan tanda padanya dan mengangkat tanganku. Aku mengikutinya. Ia mengarahkan aku untuk duduk di pojok belakang. Ada meja yang sudah kosong. Ia memberikanku menu dan memberitahuku bahwa jika aku sudah siap memesan aku tinggal memanggil namanya, dia menyebutkan dirinya sebagai Jordan. Aku mengangguk pelan dan mulai membuka menu. Hmm... apa yah yang enak?
"Dua kali dalam sehari aku ketemu kamu. Kebetulan yang aneh ya, Kat?" Aku mendongak pucat, seperti sedang melihat hantu. Iya..dia hantu. Hantu masa lalu...Please, deh! Kali ini aku bukan ingin menangis, malah agak kesal dengan semesta. Anehnya, aku tidak merasakan apa yang kurasakan saat di bandara tadi sore. Aku tidak gelagapan, atau lemas, tidak deg-degan, tidak sedih. Sejujurnya, aku tidak merasakan apa-apa. Numb. Really numb.
Aku tidak berkata apa-apa saat ia 'mempersilahkan dirinya sendiri' duduk di depanku. Dengan masih tersenyum seolah tidak ada yang aneh. Aku mengernyitkan dahi, dan dalam hati mengomel lah..memang ada yang menyuruhnya duduk bareng sama aku?
Diego tersenyum. Damn! Senyumnya... ah Katya! Jangan salah fokus!
"Apa kabar Katya?", suaranya menghangat. Matanya memandangku lurus. Aku tidak bergerak. Aku merasa dia memperhatikan setiap gerak-gerikku. Setiap gerakan mataku, rambutku, bahuku, tanganku, jariku, semuanya. Aku mencoba sok tenang.
"Baik." Jawabku simple dan datar. Aku memberanikan diri menatap bib..ups mata! Mata, Katya!
"So, apa yang ngebuat kamu ke Amsterdam? Bukannya kamu dulu sering bilang ya kamu takut ke luar negri sendirian?", selidiknya ingin tahu. Diego bertanya lalu mengalihkan pandangannya ke menu yang berada di tengah kami, menariknya dan membacanya.
Kamu! Kamu yang membuatku nekat. Kamu yang membuatku pergi ke sini. Lari. Lari darimu... Aku berteriak dalam hati, saat Jordan menghampiri kami dan mencatat pesanan kami. Mendadak aku menjadi kesal, dan tidak betah. Aku tidak sabar keluar dari sini. Aku bisa merasakan ketidaktenanganku. Alisku berkerut dan entah seperti apa lagi ekspresiku sekarang. Setelah Jordan pergi, Diego menatapku lagi. Dia memandangku lama, meletakkan kedua tangannya di bawah dagunya.
"Terakhir kali kita ketemu.." belum Diego melanjutkan, aku sudah memotong perkataannya,
“Yang besoknya kamu pergi? Tanpa ngomong?
Dan ngga pernah menghubungi aku lagi berbulan-bulan sampai sekarang?” Jawabku
cuek dan datar. Tanganku meraih ice tea
yang baru datang dan menyeruputnya.
Wajah Diego berubah menjadi serius. “Aku…….ngga
kemana-mana, Katya.”
Aku hampir tidak mendengarkannya. Rasanya
seperti aku tidak mau tahu lagi. Rasanya seperti aku menyerah karena capek.
Hatiku capek.
Tangannya maju ingin meraih tanganku,
dengan reflek aku menarik tanganku salah tingkah. Diego lalu mengepalkan
tangannya dan menghela nafas.
Saat itu Jordan datang dan membawakan
pesanan kami. Aku dan Diego sama-sama makan dalam diam. Aku tidak menatapnya
lagi. Aku menatap apa saja yang lain selain matanya. Aku ngga mau biarin dia bersikap seolah-olah dia ngga menyakiti aku…seolah-olah
OK aja baginya untuk mengulang pola ini lagi. Dia datang, kami
bersenang-senang, dia bersikap seolah-olah aku pacarnya, tapi tentu saja aku
bukan pacarnya karena tidak pernah kita bicarakan ‘label’ itu. Bukan berarti
aku harus seperti anak sekolah yang meminta ‘ditembak’, tapi aku perlu
kejelasan. Di situ logikaku selalu menyadarkanku. Tapi…, setiap dia datang
lagi, aku terbawa perasaan dan aku menyukainya, aku melupakan akal sehatku,
karena rasa kangenku lebih besar, rasa sayangku, hasratku, keinginanku untuk dicintai
olehnya lebih besar. Menyukai perhatiannya padaku, menyukai caranya berbicara
dan memandangku, dan caranya sekilas melindungiku. Aku mau dia. Semuanya
tentang dia. Tapi caranya. Caranya, perilakunya, perkataannya, semua bertolak
belakang dan membingungkan. Sekali. Dua kali.Tiga kali. Lama-lama rasanya
seperti dipermainkan. Nggak! Ngga bisa
lagi! Ngga mau lagi! Aku teriak dalam hati.
“Aku duluan ya.” Aku berdiri dan
meletakkan beberapa Euro di atas meja. Aku masih ingin sekali menghabiskan waktu bersama Diego,
tapi, yang aman bagiku, bagi hati ini, adalah menjauhinya. Mata Diego melihatku seolah ia akan
kehilangan sesuatu miliknya yang paling berharga. Ya, dia sepenyayang itu. Makanya aku sulit meninggalkannya, makanya aku rela beberapa tahun ini ada
untuknya. Saat aku akan meninggalkannya dia menarik tanganku, “Katya, tunggu!”
Suaranya terdengar panik.
“Apa? Nothing’s
change kan? Aku tetap nunggu kamu? Kamu dateng sesuka kamu, pergi sesuka
kamu. Like always.” Kataku jutek.
“Nunggu? Aku ngga ngerti.”
“Iya, kamu emang ngga pernah ngerti!” Aku
melepaskan pegangan tangannya dan melangkah cepat.”
“Katya! Tunggu dulu, kamu mau kemana?”
“Katya!” Diego masih mengejarku.
Aku buru-buru keluar dari kafe, menembus keramaian, menabrak beberapa
orang mabuk yang berkumpul di luar. Aku terus berjalan cepat tak berhenti,
dadaku membuncah dan penuh dengan emosi yang siap keluar. Air mata ini datang
lagi. Kali ini langsung membasahi pipi-pipiku. Aku terus berjalan cepat. Aku
berhenti di depan sebuah taman yang kini sudah sepi, yang hanya memperlihatkan
nyala kunang-kunang dan lampu-lampunya. Badanku lemas, gemetar,dan mencoba mengumpulkan
potongan-potongan kejadian tadi. Menguatkan diri.
“Katya!”, Diego di
belakangku. Ternyata dia mengikutiku. Mengejarku.
“Apa?!” Aku teriak tanpa memalingkan wajah dan tubuhku ke arahnya dan melanjutkan berjalan lagi pergi darinya.
“Tunggu!” Diego mencoba mensejajarkan langkahnya
dengan langkahku.
Aku menoleh dan menghadapnya. Aku
juga tidak tahu kenapa aku jadi begini berani melawannya,
“Iya! ‘Tunggu’! Hanya
itu yang aku lakuin selama ini. Aku ngerasa tolol!” ,
kali ini tangisku makin deras.
“Dengerin dulu…Dengerin aku.” Aku menoleh
sebentar.
“Dengerin apa? Tentang bagaimana kamu terus
cerita, bilang kalau kamu terus mencari? Selalu bilang kamu ingin punya
pasangan, ingin menikah, ingin mencintai seseorang? Mencari apapun itu yang kamu
cari, tapi di saat yang sama kamu ngga pernah puas, selalu ngasih jarak dengan siapapun yang dateng
ke kamu, gitu?”
“Katya..” Diego memelankan suaranya
“Nggak! Aku ngga mau denger lagi!” Suaraku
membentaknya keras dan terdengar gemetar. Seluruh badanku rasanya tegang. Semua
yang kurasakan selama ini akhirnya tumpah sekarang.
Aku masih menangis saat aku membalikan
badanku. Aku harus pergi dari sini.
“Aku capek!!! Kamu ngebuat aku sayang sama kamu, nunggu kamu,
selalu nyiapin diri aku untuk jadi tempat kamu pulang, kamu buat aku selalu
ingin perhatian sama kamu, pengen lindungin kamu, pengen membahagiakan kamu,
pengen selalu ada buat kamu..” Saat aku mengucapkan semua itu keras-keras, aku
baru menyadari, ternyata aku yang salah! Aku yang selama ini mengikatkan diriku
sendiri kepada Diego. Aku yang selama ini terlena dengan pandanganku sendiri
dengan sosok seorang Diego. Sosok sempurna yang fiktif. Ternyata yang memiliki
ekspektansi tinggi itu aku! Aku yang meletakkan diri disitu, di tempat paling
rapuh, bersedia untuk disakiti, digantung, diabaikan. Ternyata aku yang salah selama ini! Bukan Diego.
Tangisku makin jadi, aku
menggeleng-gelengkan kepalaku seolah aku mengasihani diriku sendiri, berpikir bagaimana diriku sendiri bisa
membiarkan semua ini terjadi. Terjadi terlalu lama.
Aku tidak lagi bisa merasakan angin malam yang dingin, yang berhembus menerpa wajahku. Tiba-tiba, Diego memelukku dari belakang. Ia
melingkarkan tangannya dan memelukku dari belakang, menyelimutiku dengan tubuhnya. Aku bisa merasakan dia gemetar, namun di saat yang sama pelukannya erat, sampai aku bisa mendengarkan detak jantungnya yang berdegup cepat dari belakang punggungku. Aku tidak balik memegang
tangannya. Aku tidak punya tenaga untuk apapun. Aku menyerah. Aku terus menangis. Kali ini mulutku tertutup rapat. Diego merapatkan kepalanya kepada kepalaku, dan berbisik, "Katya, jangan nangis lagi.."
Diego membalikkan badanku, kini kami berhadapan, dia menatapku lemah, tersenyum sakit. Matanya meredup dan melembut. Untuk sesaat, aku rasa waktu berhenti. Kakiku kaku. Pertahananku hilang sudah. Aku memperhatikan wajah Diego, Diego yang aku sayang, yang aku cinta, yang aku mau. Diego-ku. Dengan ragu-ragu Diego maju mendekat. Tangannya diletakkan di pipi-pipiku. Ibu jarinya menyapu daguku lembut. Aku bersumpah aku bahkan tidak menyadari angin semakin kencang, daun-daun berjatuhan, badanku kedinginan, dan hujan rintik mulai jatuh saat Diego mendekatkan dan menempelkan bibirnya ke bibirku. Ia menciumku! Ia menciumku seolah-olah merindukanku lama, seolah-olah aku miliknya, dan seolah-olah dia milikku. Semua rasa sakitku hilang. Semua amarahku sirna. Seketika hanya ada aku dan dia. Bajunya basah, begitu juga aku. Hujan turun deras tapi tidak ada satupun dari kami yang peduli. Tidak satupun dari kami yang ingin beranjak. Dan sekali lagi, aku serahkan hati ini padanya. My whole heart...
(to be continued)
*