Thursday, January 29, 2015

A PERFECT WOMAN AND THE PRISCILLA AHN

Life as a 30 years old is no different as before, I kept doing regular things. Keep loving the same man. Keep spending times with all my beloved's.
Wallpaper desert, rocks, plants, drought, black and white
I have a great birthday week..

26th January 2015, Blowing candles and celebrate Bday with colleagues and family. My birthday gift are novels! I loveeee novels.

27th January 2015, Farewell Party in my office. Received a birthday gift, A Bunny Teapot.
28th January 2015, Received a birthday gift, and Owl Rattan Basket.
29th January 2015, Took a day off of work and enjoying my birthday gift from Mom, Flight Simulator. AWESOME!!! After that I have 2 free birthday treat from Sushi Tei and Munchies. YUMMY!
30th January 2015... I have no idea yet.


Being 30, what I really feel right now is worried.
Did I accomplish something? Do I still have the same dream?
Do I have the chance to to my dream?

But last thing I checked, I am a woman that can make things happen. Eventually. So..will keep on hoping.

My transition as 30 years old woman, symboled by a song from Priscilla Ahn-called City Lights. A Half Korean -American singer (The one I listened when I celebrate my Bday with my cousins)

I love her kind of song. Folky, Accoustic...and her voice...wow. Emotions are all over the place!!! Listened to Priscilla Ahn while reading Lang Leav!!! Aaa LOVE it!


She looks a lil bit like Phoebe Cates.

2 songs that caught my ears.."City Lights" and " I'll Be Here"


If you fall, if you fly It's so hard when you're trying to get back your heart Never lasts, it's broken but it's wise And one day you will rise And you'll learn to dry those eyes Cause you see what it's like To struggle in this life (to struggle in this life)
I'll be here for you (to struggle in this life) Any day you want me to, I'll be here for you Love will see us through Wherever you are, whatever you do, I'll be here



I gave this song for someone special. Dearest to my heart. Wishing him nothing but happiness.
Show him that I'm not gonna go anywhere... 
Loving him endlessly, eventhough this heart doesn't know anything..

Monday, January 26, 2015

MY 30th BIRTHDAY. 26TH JANUARY 2015



My Mom asked me if I'm ready being 30. (25th Jan 2015-10 PM)

I was in my balcony when I looked up and saw the sky. It is dark. But it is a good background for what I saw through my eyes that night. My 20's flashing back. Tried to remembered every fragments, every pieces, every important events, person, my graduation day, my road trip with my bestfriend, bikini day with my girls, everything.
I can't remember details. LIke I used to. I can't remember dates or what happened exactly that day.
However, I knew I've been through everything that made me learn my lesson, made me grew, made me who I am today.
I put on my earphone while waiting the time ticks, 8 minutes to 12 PM, and I listened to "My Way"-Frank Sinatra. Suddenly, I looked like this :
This is my whatsapp content to my Mom.
Hahahaha. Was I look like mess?


I am crying, not only because I am an emotional person, but also I am upset SOMEHOW, that I realized I am going to leave my youth behind. Time where I could do almost anything! Free! As young person. Whenever I did something wrong or reckless, I'm just gonna blame my age. ;p

However, when the clock turned midnight, I am calm. Thinking that I am now mature. A mature woman and everybody are getting through the same thing. But also I'm scared too much realizing 10 years are fast. Soon I'll be 40 and it is scary.

Like Joey in F.R.I.E.N.D.S. Sitcom, when him and the rest of the gang turned 30 said "Why God?"


When Rachel doesn't wanna come out from her room, When Monica drunk,when Phoebe realized that she skipped a year of her age, Ross bought the sportscar impulsively and Chandler..well..Joey did the crying while Chandler about to blow the candle.

In 10 years, I'll be 40.
What have I accomplished in my life so far?

After crying on balcony, I slept until morning, wishing that the next day is gonna be a great day, a great age, and I'm gonna be OK.

And ..... IT WAS!


Lots of Prayers for Me

Lots of My Face on Path & FB

Lots of Presents (Mostly Books-Novels)
Lots of Fun

Lots of Love
Love Self

Wishes I Believe Happening Anytime Soon...







Being 30 is not so bad afterall...



Thursday, January 22, 2015

CHAPTER 3 : "Verdwaald met U"

Silau...

Aku mencoba menyipitkan mataku, melihat sekelilingku. Kicauan burung-burung kecil di pagi hari yang bermain-main di depan jendela terdengar samar-samar. Salah satunya terantuk kaca jendelaku, mungkin dikiranya jendela itu terbuka karena terlalu mengkilap. Aku mencoba menggerakan badanku yang saat ini rasanya sakit semua.
Peristiwa semalam dengan Diego masih jelas dalam bayanganku. Rasa marahku, air mataku, dan ciumannya yang awalnya membuatku bahagia, tapi pada akhirnya semuanya tergantikan dengan rasa sakit, kecewa, dan marah yang lebih hebat. Sampai akhirnya, aku melepaskan pelukannya dan akhirnya lari meninggalkannya dalam hujan deras.
 Aku melihat kamarku, kelihatan lebih luas dalam terang matahari pagi. Sebenarnya aku sangat bingung. Aku tak bisa memutuskan apa yang harus kulakukan hari ini. Aku masih ingat tawaran Diego kemarin yang mengajakku bertemu. Tapi setelah semalam, Untuk apa lagi? Dan jika aku memutuskan akan bertemu dengannya,….Lalu apa? Sekali lagi aku benar-benar merasa dipermainkan dengan bodohnya!
Sedangkan, jika aku memang akan pergi mencari Jansen, aku benar-benar tidak tahu harus mulai darimana. 
Jansen.. 
Kenapa ya aku jadi kangen? Aku kangen sikap usilnya. Aku kangen ngobrol dengannya. Dimana ya, dia? Hmm..
Aku tersenyum kecil, mendadak aku sakit perut, jantungku deg-degan, feels like there's a butterfly in my stomache. Entah kenapa memikirkan Jansen aku langsung bersemangat. Masih ingat jelas permintaan Jansen kepadaku untuk mencarinya. Entah apa yang ia pikirkan. Bagiku tidak logis. Coba pikir, bagaimana cara kita bisa mencari seseorang, di jagat raya ini, tanpa ada alamat, hanya ada kartu pos-kartu pos tidak bertuliskan apa-apa namun hanya ada gambar-gambar tempat? Tunggu. 'Gambar-gambar tempat'?
Aku menyibakkan selimut yang masih menutupi ujung-ujung kakiku, beranjak ke kamar mandi dan menyiramkan mukaku dengan air dingin. Aku butuh berpikir!
Kukumpulkan kembali kartu-kartu pos dari Jansen, dan aku jejerkan semuanya dengan rapi. Ada 10 kartu. Tanpa urutan apapun aku menjejerkan bersisian gambar Jembatan Luzern di Swiss, Museum Louvre di Perancis, Brussels Grote Markt di Belgia, Oosterpark di dekat hotelku, Quais De Seine di Perancis, Volendam di Belanda, Menara Eiffel di Perancis, gambar rumah berjendela kecil dan penuh bunga di depan hamparan rumput hijau di Engelberg di Swiss, Kicir kecil di Leiden dan sebuah gambar kanal di dekatnya, dan yang terakhir potret wajah dari seorang Anne Frank dari Anne Frank Huis di daerah Jordaan. Maksudnya aku disuruh pergi ke tempat-tempat ini? Sebagian di antaranya kan keluar dari Belanda. Gila juga, nih, orang!
 Mendadak aku sakit perut lagi. Kali ini bukan karena rasa tertarikku kepada Jansen, tapi lebih kepada rasa cemas yang menghinggapiku karena tahu aku akan pergi ke tempat-tempat yang sama sekali belum pernah kusinggahi seumur hidupku.'Unknown Terittory', Jansen menyebutnya. Rasanya berlebihan sekali hanya karena aku akan bepergian dari satu tempat ke tempat lain sampai secemas ini, tapi mungkin juga karena aku tidak tahu apa yang akan kutemui sepanjang perjalananku nanti. Jika aku berani pergi.
Walaupun sakit perut, tapi juga sekaligus aku merasa tertarik dan tertantang. Jika aku bisa melakukan ini, bayangkan rasanya aku bisa melihat Eiffel! Bisa ke Swiss! Akhirnya aku bisa mengalahkan ketakutanku sendiri untuk pergi ke tempat yang baru. Sendirian. What it would be like? Dan, jika benar takdir itu ada, seperti kata Jansen, mungkin kita akan bertemu lagi. Aku akan bertemu Jansen lagi.Tapi, untuk saat ini aku masih menolak ide mengenai takdir, tentu saja. Karena there is no such thing! Kalau Jansen benar-benar ada di depanku, aku baru percaya!
Aku memijit-mijit dahiku, mencoba membuat daftar pro dan kontra di otakku, mencari-cari alasan mengapa aku harus dan tidak harus melakukannya. Menimbang-nimbang jika aku pergi atau tidak. Aku tidak harus pergi. Aku bisa tidak mencarinya. Aku bisa tinggal di Amsterdam saja sesuai rencanaku semula. Mungkin berjalan sendirian di sepanjang sisi kanal, mengunjungi museum-museum menarik yang penuh dengan cerita-cerita sejarah tentang negara Belanda, atau hanya menghabiskan waktu duduk-duduk sendirian di taman tanpa tujuan. Sendirian.Tanpa tujuan.Ya, aku bisa melakukannya.Untuk itu bukan, tujuanku pergi ke Belanda? Menikmati pelarianku.Tanpa tujuan.Tanpa keharusan.
Tapi…
Saat ini entah kenapa aku merasa memiliki alasan lain. Alasan yang mendorongku. Lebih kuat mengalahkan rencanaku berjalan-jalan tanpa tujuan sendirian, dengan banyak kemungkinan bisa bertemu Diego yang ingin kulupakan di Negara Kincir Angin ini. Saat ini aku benar-benar ingin pergi. Walaupun dengan keraguan besar dan dengan pikiran-pikiran buruk yang tiba-tiba berkumpul jadi satu di otakku. Aku ingin pergi. Aku tidak tahu alasannya. Apakah karena Jansen yang menarik perhatianku atau karena hanya sekedar pembuktian kepada diriku bahwa setidaknya untuk sekali saja dalam hidupku, aku berani melakukan sesuatu. 
Sepuluh menit menimbang-nimbang, akhirnya aku memutuskan untuk pergi.

*

Aku duduk di sebelah meja “Reserved for Bink”. Cahaya matahari masuk dari jendela dan aku bisa melihat birunya langit. Hari ini cukup cerah.
“Selamat pagi.” Jorijn menyapaku dalam bahasa Inggrisnya kali ini.
“Sarapan? Kami  punya banyak pilihan sarapan pagi. Ada sereal, buah-buahan, roti, daging, dan tentu saja banyak variasi kopi yang bisa kamu pilih dari mesin pembuat kopi.” Jorijn menunjukkan meja prasmanan yang kini tampak berwarna-warni dari kejauhan, dipenuhi makanan dan minuman yang menggugah selera. Aku tersenyum dan melihat sekelilingku. Hotel ini benar-benar sepi. Baru ada aku. Hanya ada aku.
Aku berjalan dan mengambil gelas, mengisinya dengan jus jeruk. Mengambil beberapa roti dan selai sebelum kembali ke meja.
Jorijn mendatangiku lagi. Melihat piringku yang hanya berisi dua lembar roti gandum dan secuil selai stroberi. “Kamu tidak lapar?” tanyanya.
Aku tertawa. “Ini piring pertamaku.” Kataku disambut tawa Jorijn. Karena kupikir aku butuh teman bicara, dan sepertinya ia juga tidak terlihat terlalu sibuk, akhirnya aku mengajaknya duduk bersamaku. Jorijn sangat cantik. Aku melihatnya dari dekat dan bisa melihat rambut pirangnya berkilau terkena cahaya matahari. Mata bulatnya menegaskan wajahnya yang berbentuk hati dan berlesung pipi. Ia cukup ramah, mengajakku berbicara, menanyakan apakah aku masih dalam kondisi jet-lag. Ia sepertinya kagum dengan kemampuan berbahasa Belandaku yang minim. Aku sendiri banyak bertanya mengenai Negara Tulip ini dan sedikit bercerita mengenai ketakutanku bepergian sendirian. Di tengah pembicaraan kami, Jorijn melirik ke tumpukan kartu pos yang kubawa sarapan.”Banyak sekali kartu pos-nya. Aku rasa kamu bukan orang yang takut bepergian jika kamu memiliki kartu pos sebanyak itu”, katanya seperti separuh ingin tahu.
Tanganku masih memegang potongan roti saat tangan satunya memegang kartu pos bergambar menara Eiffel. Aku menceritakan kepada Jorijn darimana asal kartu-kartu ini dan menceritakan kepadanya tentang Jansen dan pertemuan kami, tentang bagaimana Jansen akhirnya memintaku mencarinya tanpa petunjuk lain selain kartu-kartu yang ia tinggalkan.
“Kurang lebih seperti film itu, kamu tahu, yang dibintangi John Cusack. Film Serendipity?”
Tentu saja aku tahu film itu, saat Jansen mulai membawa-bawa masalah takdir, hanya itu film yang langsung kuingat. Aku mengangguk setuju. “Ya, mirip. Bedanya, di film itu John dan Kate menyerahkan semuanya kepada takdir dan media perantaranya hanya sebuah buku Cholera usang. Dalam kasusku, Jansen menginginkan aku mencarinya, dengan hanya meninggalkan kartu-kartu ini sebagai petunjuknya. Dan satu lagi, aku agak tidak percaya yang namanya takdir. “ Aku dapat merasakan Jorijn sangat tertarik dengan rencana pencarian Jansen yang akan kulakukan. Matanya membesar menjadi bersemangat. Ia mencondongkan tubuhnya,
“Bukankah itu menyenangkan? Bepergian ke tempat yang kamu tidak pernah kunjungi dan pada akhirnya untuk mencari cinta?” Tanya Jorijn antusias seolah-olah ia sedang memainkan permainan detektif.
Aku tersenyum ,”Bukan cinta, Jorijn. Jansen hanya seseorang yang aku temui di bandara. Sama sekali orang asing. Sebenarnya aku takut. Aku… ini kali pertamaku pergi sendirian ke negri orang. Aku saja belum memutuskan untuk benar-benar akan menjelajahi Belanda, apalagi pergi ke negara lain.”
Jorijn menatapku aneh, terpancar kebingungan di wajahnya “Aku tidak mengerti. Kamu toh bukan pergi ke penjara, atau tempat penyiksaan. Katya, kamu akan pergi ke Paris, ‘City of Lights’, ‘City of Love’.” Jorijn memainkan tangannya melakukan gerakan-gerakan yang menandakan sesuatu yang sangat menarik dan indah. “Kamu juga akan pergi ke Swiss. Yang aku dengar pemandangan di sana sangat cantik. Jadi, apa yang kamu takuti? Aku benar-benar tidak mengerti. Apa yang sebenarnya kamu takuti? Perjalanannya atau apa?”
Jorijn pasti berpikir aku aneh dan mungkin sedikit kekanak-kanakan. Apa sih yang sebenarnya aku takuti? Iya, ya. Apa?
Jorijn berkata lagi “ Seburuk-buruknya yang akan terjadi hanyalah kamu akan tersesat. Tapi, sekali lagi, bukankah kamu setidaknya akan tersesat di tempat-tempat yang indah? Menurutku hidup ini cukup singkat untuk diisi dengan ketakutan. Bukan begitu?”
Aku benar-benar tidak bisa berkata-kata. Aku merasa malu. Akhirnya aku mengangguk “ Aku tahu. Oleh karena itu, mungkin itu menjadi suatu alasan besar bagiku untuk memutuskan bahwa aku akan pergi.”
Jorijn menggeleng kecil dan tersenyum.Setelah kami terdiam sebentar, Jorijn berkata lagi, “Begini saja, aku akan menemanimu.” Aku cukup kaget dengan kata-katanya. “Ini bukan musim liburan, hotel ini benar-benar sepi.” Jorijn melihat sekeliling memperlihatkan wajahnya yang bosan. “Aku rasa, bos-ku tidak akan terlalu keberatan aku meninggalkan hotel ini beberapa hari. Aku bisa meminta jatah cutiku yang tidak pernah kuambil. Bagaimana menurutmu? Kalau kamu setuju…”
Aku tersenyum tidak percaya dan memotong kalimatnya” Tentu saja! Aku tidak keberatan, Jorijn!!”, kataku senang.

 *


Wednesday, January 21, 2015

LOVE & MISADVENTURES (Lang Leav)



If there is a question about who my idol is,
SHE is my idol.
Lang Leav. The writer. The poet. The woman.
Her words are what women feel, think,and do. 
Covered by the beauty of rhymes, in prose, simple lines of words but deeply touching the soul, the wounds that we doesn't realize existed, the tears, and wandering minds.

Lang Leav.

I haven't buy the other one, "Lullabies", but I can't take off my eyes of the pages inside Love & Misadventure. Trying to translate every single words written, and how it has finally connected with my real feelings and what I'm going through, now, and there's... then.

My Favorite One.






THE LAST DAYS OF 29.

Jakarta, Thursday, 22nd January 2015

Today, I think about being 20's.
 I still remembered the day I turned 20. 
On my 20th birthday, I called my expat ex (he was then my bf) and cried. 
While crying, I said to him, " I don't wanna be 20. I don't wanna get old!!!"
He only said to me "Age are not gonna go backwards, if you are crying now just because of turning 20, you will cry for the rest of your life. Embrace it."



So I did. I embraced it.
And now, 10 years after that, 
After so so so so so many ups and down, 
so many achievements, failures, so many mistakes, 
so much tears and heartbreaking, 
so many assholes that I used to call "boyfriend",
so much worrying future and insecurities,
so much anger and repressed emotions,
so many bad decisions as 20 something girl, 
so many struggle during what we called a "broken home"
so many traveling...and half-done novels,
so many "half-done"other things I always do but never finished,
so many friends became strangers and so many strangers became friends,
after so much "FUN,DARING,&STUPID" experiments, experiences and explorations in almost 'ANYTHING' (Mom, if you are reading this..........., well, don't! Hahaha.)

Today, 
Realizing my 20's gonna be over in 4 days, I've prepared myself to embraced the big "3".
I think.

But Hey! All I can say is, I HAVE AN AMAZING 20'S!!! GREAT 10 YEARS OF MY LIFE WITH ALL CHAOS & BEAUTY INSIDE OF IT!!! And I am so lucky to survived those years!!!

Well done, Dee! (As I pat my back). Not too shabby, Girl!


Groetjes,
From amazing,outstanding,fabulous,gorgeous and hell of a sexy woman,
Me.

PS : Mom, stop reading my blog. Hahahahaha.





CHAPTER 2- "Terug in De Tijd"

Chapter 2
Terug In de Tijd

“Dank U Wel.”, aku mengucapkan terima kasih dan  turun dari taksi. Masih pukul 4 sore saat aku sampai di daerah Plantage Middenlaan. Aku merapatkan jaketku.Cuaca di Belanda bisa dibilang cepat perubahannya. Sesaat cerah, sesaat mendung, lalu tiba-tiba turun rintik hujan sedikit, tidak lama kemudian cerah kembali.
 Plantage Middenlaan adalah daerah yang lumayan sepi jika dibandingkan dengan Dam Square, Max Eueweplein atau Nieuwmarkt. Jalan lintasan yang mereka punya mungkin tidak bisa disebut sebagai jalan raya. Jalan besar itu terbagi menjadi lintasan-lintasan trem, lintasan pejalan kaki, lintasan kendaraan bermotor, dan lintasan sepeda.
Lingkungan hotel Rembrandt cukup nyaman. Lebih banyak orang-orang bersepeda daripada pengguna mobil. Mungkin karena di Belanda, satu tempat dengan yang lainnya banyak yang dapat ditempuh dengan jarak dekat. Hotelku dikelilingi oleh rumah-rumah, beberapa bangunan berwarna putih yang sepertinya adalah apartemen dan ada satu coffee shop di hoek di ujung jalan. Tidak ada yang tinggi menjulang. Hampir semuanya hanya setinggi dua tingkat.
Suara klakson nyaring terdengar di belakangku. Tanpa sadar aku berada di dalam garis lintasan sepeda. Aku kaget dan segera menyingkir.
“Het spijt me. Het is mijn schuld! (Maafkan aku,ini salahku!)”, teriakku tidak enak pada seorang ibu-ibu berumur 40-an yang sedang mengendarai sepedanya. Sampai sepeda itu menjauh dari pandangan, dari gelengan kepalanya, aku rasa ia menggerutu karenaku.



Hotel Rembrandt, bukan hotel besar seperti hotel-hotel bintang lima yang sering kulihat di daerah Thamrin, Senayan atau Kuningan. Hotel tiga tingkat ini memiliki dinding berlapiskan bata merah. Tembok luarnya dirambati tanaman hijau, dan pada jendela-jendelanya terdapat kanopi berwarna merah. Tulisan Rembrandt Hotel yang agak kecil, tertutup oleh untaian-untaian tanaman rambat yang ada di sisi-sisinya. Aku harus menaiki beberapa anak tangga untuk masuk ke dalam hotel yang pada pintunya bertuliskan “Close The Door!, We have cats inside.” Aku tersenyum melihatnya, tidak dapat kubayangkan hotel-hotel di Jakarta yang memiliki tulisan seperti itu di pintu masuknya. Lalu, aku membawa ranselku masuk ke dalam. Kuedarkan pandanganku ke sekeliling ruangan mencari-cari kucing yang dimaksud. Hotel ini kecil sekali, tapi aku suka. Rasanya homy dan hangat. Lantainya dari kayu. Pada dinding dekat pintu masuk, terdapat rak berisikan kartu-kartu kecil dengan nama-nama bar, restauran, dan tempat-tempat tujuan turis.
Aku masuk ke sebuah ruangan kecil yang hangat, nyaman dan berbentuk seperti ruang tamu atau ruang baca atau.... ruang tunggu, aku tidak yakin. Ada dua sofa kulit berwarna coklat tua yang salah satunya jahitannya sudah hampir terlepas. Di belakangnya terdapat lemari buku besar berwarna sama yang diisi dengan buku-buku tebal karya lama berbahasa Belanda dan Perancis. Di depan sofa, terdapat perapian yang  menyala dan di atas perapian tersebut ada lukisan antik abad zaman pertengahan dari Sang Pelukis ternama, Rembrandt, yang juga menjadi nama dari hotel yang kutempati. 






Di meja resepsionis, terlihat ada vas besar yang kosong. Tempat yang aneh untuk meletakkan vas di situ, pikirku.
Hmm.. kok sepi ya? Ngga ada orangnya?
Tak lama, seorang perempuan berusia sekitar 30 tahunan, tinggi, bongsor dan berambut bob pirang masuk dengan satu tangannya memegang seikat bunga peony berwarna pink keunguan dan sebelah tangannya lagi memegang gunting tanaman. Ia agak kaget melihatku di depannya.Tempat ini agak sepi, mungkin ia mengira ia masih sendirian. Perempuan itu menatapku, tersenyum dan menyapa,
“Hallo, kan ik u helpen? (Hi, apakah ada yang bisa kubantu?)” Perempuan itu meletakkan peony-peony indah itu ke dalam vas besar yang berada di depannya dan memindahkannya ke meja di belakangnya.
“Ik heb een reservering. Ik blijf 3 nachten. (Saya sudah memesan kamar. Saya menginap selama 3 malam).” Kataku dengan aksen dan pengucapan bahasa Belanda yang aneh.
Ia tersenyum, “Waar kom je vandaan?(Dari mana asalmu?)”. 
“Ik kom uit Indonesia (Saya berasal dari Indonesia).” Jawabku sambil melepas ransel yang sudah terasa berat karena terlalu lama kugendong.
“Ah, Indonesië.Alleen reizen, zie ik. (Ah, Indonesia. Bepergian sendiri, sepertinya)” katanya lagi.
“Ja, Ik ben alleen.(Ya, saya sendirian)”
“Mijn naam is Jorijn.(Nama saya Jorijn). U spreken zeer goed Nederlands (Kamu berbicara Bahasa Belanda dengan sangat baik)”.
 Perempuan berwajah manis itu mengulurkan tangannya.
Aku tertawa, “Een beetje (Sedikit). Mijn is Katya. (Namaku Katya)”
Jorijn dengan ramah menyodorkan kunci kamarku sambil keluar dari ruang tamu. Ia mengantarku naik beberapa anak tangga karena ternyata kamarku hanya di ujung lorong, tidak jauh dari ruang tadi.
Kamarku hanya berukuran 2x3 meter persegi. Kamar mandi kecil berada di balik pintu kamar. Tempat tidurnya yang juga kecil dengan selimut berwarna hijau menempel dan menghadap jendela. Ada sebuah TV mini di atas sebuah rak kayu. Walaupun kecil, tapi tetap saja homy. Aku mendekat ke jendela dan membukanya. Angin sejuk masuk ke dalam kamar. Pemandangannya memang bukan laut, atau kanal, atau taman, hanya sebuah pekarangan rumah orang lain, tapi aku merasa bahagia bisa berada di tempat ini. Aku memejamkan mata dan tersenyum menikmati keberadaanku di Amsterdam.



“Dus, de dag nog steeds jongeren. Wat gaat u doen vanavond? (Jadi, hari masih siang,  Apa rencanamu malam ini?)”, tanya Jorijn sambil berjalan ke arah pintu. Ia berbalik sebentar dan melihatku. Aku hanya tersenyum dan mengangkat bahu.
Jorijn membalasnya. “Verdwalen en geniet van verloren gaat.”

Get lost and enjoy being lost... Aku menerjemahkannya dan mengernyitkan dahiku. Kata-kata itu persis seperti kata-kata Jansen. Aku jadi teringat amplop besar berisikan kartu pos-kartu pos yang ditinggalkan Jansen untukku. Aku ambil dan kubuka kembali. Kubiarkan kartu-kartu itu berserakan di atas tempat tidur.

Aku membaringkan diri di atas kartu-kartu itu. Mengambil salah satunya dari belakang kepalaku. Sebuah kartu pos bergambar OosterPark, sepertinya. OosterPark tidak jauh dari sini, pikirku. Ada sebuah tulisan dengan tinta biru di baliknya, bertuliskan “Day 2”.
Ahhh. Jansen. Kamu dimana sih sekarang?
Aku memejamkan mataku, mengingat potongan pembicaraanku dengannya saat masih di pesawat. Setelah Jansen memasukkan foto lama Pieter dan Nienke ke dalam dompetnya, ia mengeluarkan sebuah buku diari yang sudah lusuh berwarna merah. “This is where I put every journey I had when I travelled.” Katanya sambil menunjukkan isi diari itu padaku, Buku diari itu dipenuhi tulisan-tulisan, foto-foto yang ditempel acak, dan beberapa kartu pos yg diselipkan di setiap beberapa lembarnya.
Ia memperlihatkan foto-foto bangunan-bangunan tua di beberapa sudut kota Amsterdam yang tidak pernah menjadi tujuan utama turis, lorong-lorong kecil dan sempit di Paris, sebuah jembatan yang sepi di Venice, dan banyak lagi foto-foto lain seperti dermaga atau nelayan-nelayan yang sedang beristirahat di Thailand, rumah-rumah kapal di pinggir kanal di dekat Rijkmuseum,  taman Sharphati dengan rumput hijaunya yang dihinggapi burung-burung berwarna abu-abu muda, air mancur tua di Santorini yang memiliki retak pada pinggirnya, atau anak-anak kecil yang sedang berlarian saling mengejar saat bermain layang-layang di sebuah pematang di Bali. Seakan-akan seluruh perjalanan hidupnya ada dalam diari itu.
Tanpa menungguku bertanya mengenai foto-foto itu, ia berbicara lagi padaku. Matanya coklatnya menatap lurus ke mataku.


“You see, Katya, when people travel, people always remember how they got lost. Most of the time. Wandering in a strange place, meeting with people they don’t know, feel afraid of the unknown. Not knowing where to go next, where to sleep, not knowing what might happen.. BUT, one thing they always forgot, is to enjoy getting lost. Same about life, they remembered how they made wrong decisions or stay in wrong situations, but they forgot how to understand how the wrong things could show them to the right paths.”


Aku ingat aku menelan ludahku mendengarkan kalimat terakhirnya itu. Aku, Katya Orythia, perempuan berusia 27 tahun, adalah perempuan yang selalu dibayangi rasa takut. Rasa takut untuk berbuat spontan, untuk tidak mengetahui apa yang akan terjadi, rasa takut untuk tersesat dalam perjalanan menjelajahi mimpi sendiri, yaitu melihat dunia, rasa takut untuk tersesat dalam hidup, dan tentu saja, rasa takut untuk sakit karena cinta. Jansen tidak mengetahuinya, tapi aku mulai menyukainya waktu itu. Aku mulai terbawa dengan caranya memandang hidup dan semua yg berjalan salah di dalamnya.

“You see these pictures? I’m lost here. But, while I’m on my way finding the right path, I stopped, just to see, feel, and enjoy the feeling of what I might missed on the way there. Imagine Eiffel Tower. People would be there just to see it standing right in front of them, and not realizing other things around it. The carousel behind it, the woman sitting on the bench while reading her favorite book under the squared trees on the side of the tower, children dipping their feet on fountains not too far from the tower, or few teenagers putting on their earphones, laying down on a pale blanket they put under them in the park next to Eiffel or even the Gelato Booth that stands near the public toilet across from the garden and how big the smile is when a kid actually got that gelato on his hand.”

Aku membayangkan semua yang digambarkan Jansen. Membayangkan si perempuan dengan bukunya, komidi putar yang bergerak perlahan di pinggir jalan bahkan si anak kecil yang memegang gelato dengan wajah kegirangan.
“I’m afraid, Jansen, of getting lost.”, kataku.
“I’m just afraid of not getting there…, the place I should be.” Aku menghela nafas panjang.
“The scariest thing in life usually is the most worth doing. You’ll never know where it takes you. You could end up nowhere, but you could also end up somewhere. Get lost, and you’ll find your way.“ kata Jansen tersenyum saat meletakkan tangannya di atas punggung tanganku
*

Aku membereskan kartu-kartu yang berserakan itu dan meletakannya di atas meja. Hari ini cukup dingin. Kuambil jaketku dari sisi tempat tidur,memakainya dan kunaikkan resletingnya sampai ke leher. Dingin banget...Brrr.. Tiba-tiba perutku berbunyi. Aduh ..Laperrr, lagi...
Cuaca di luar masih terang walaupun sudah jam 7 malam. Aku memutuskan untuk pergi mencari makan. Kutinggalkan potongan-potongan puzzle dari Jansen sejenak. Rasanya tidak bisa berpikir jika perut keroncongan seperti ini.
Saat aku membuka pintu hendak keluar, ada seekor kucing gendut sudah duduk di atas keset kumal depan kamarku dan menatapku dengan matanya yang bulat, belo dan besar. Bulunya tebal. Kucing ini lucu sekali mukanya. Warna badannya putih, dan di badannya terdapat dua warna lain, hitam dan coklat muda.
Ahh ini dia kucing hotel yang tadi aku cari-cari...
Aku terkikik geli sendiri merasa senang menemukan makhluk bernafas lainnya selain aku dan Jorijn.
 Dia diam saja di depanku dan saat aku mendekatinya, dia bangun perlahan dan berjalan dengan malas ke ruangan sebelah kamarku, yaitu ruang makan. Ruang makan itu tidak terlalu besar. Meja-meja makannya terbuat dari kayu berwarna coklat yang dipelitur dengan licin. Dinding-dindingnya berlapiskan wallpaper  yang menggambarkan kehidupan pada zaman Reinassance dengan warna dasarnya yang hijau tua dan sentuhan klasik pada ukiran-ukiran kayu berwarna coklat tua di bagian bawahnya.


 Aku mengamati ruangan yang sepi tersebut. Ruang makan ini sekilas menyeramkan, mungkin karena hanya ada dua lampu gantung kristal yang menyala tidak terlalu terang, menerangi lukisan-lukisan kuno yang mengelilingi ruangan. Di dekat meja prasmanan, terdapat mesin pembuat kopi besar, yang memiliki tabung-tabung kecil  transparan yang berdempetan, dan didalamnya berisi kapsul-kapsul kopi kemasan berwarna-warni yang setiap saat dapat dibuat otomatis secara instan menjadi kopi siap minum. Aku memandanginya lama, tidak mengerti cara kerja mesin tersebut yang terlihat rumit. Memperhatikan instruksi pemakaiannya di sudut kiri bawah yang tercetak dalam bahasa Inggris dan Belanda. Di sebelah mesin pembuat kopi, ada 1 perapian besar berwarna sama dengan dinding ruangan. Dalam perapian tersebut kayu-kayu besar ditumpuk menjadi satu sedikit demi sedikit membuat suara percikan dan menghilang di dalam merahnya nyala api. Perapian ini yang membuat sepinya ruangan kuno menjadi hangat. Di depan perapian ada dua sofa besar bergaya kuno berwarna oranye dengan garis-garis kuning pucat, di atasnya kucing gendut tadi menggelung badannya dan tidur.


Aku berjalan melewati kucing itu yang sekarang sudah terlihat pulas, berjalan ke arah jendela-jendela transparan besar yang membatasi ruang makan dan taman belakang, hmm pekarangan orang, sih, lebih tepatnya. Di sebelah jendela besar itu, ada pintu yang sedikit terbuka, menghembuskan angin dingin masuk ke dalam.
Aku tertarik untuk melihat sebuah meja makan yang bertuliskan “reserved”. Aneh, pikirku. Aku rasa hanya ini yang bertuliskan “Reserved”. Tapi untuk siapa? Hotel sepi begini...
Aku baru mengerti setelah mendekat. Hahahaha. Ternyata untuk si gendut,  kucing yang ternyata bernama Bink. Kucing gendut yang sedang molor itu. Di meja itu terdapat gulungan benang wol biru yang ditempel ke meja. Di sebelahnya ada tulisan pada sebuah kertas “Don’t sit here. Reserved for Bink.” Aku terkikik geli lagi. Ada-ada saja...


Aku akhirnya berjalan keluar ruangan dan menuruni anak tangga. Aku mengintip ke ruang baca mencari sosok Jorijn. Tapi dia tidak terlihat. Ini hotel menyeramkan sekali, sih... cuma ada aku dan Bink..
Udara di luar ternyata lebih dingin dari di dalam. Aku menggesekan kedua telapakku dan meniupnya dengan nafasku yang sudah berubah menjadi asap? uap? embun? Ahh.. tidak ada satupun istilah yang dapat membuatku dapat menggambarkan bahwa aku dapat “melihat” nafasku sendiri karena dingin. Aku terus berjalan kaki, mencoba melihat kedai kopi di ujung jalan. Mungkin mereka menyediakan makanan berat untuk makan malam.
Sesudah berjalan beberapa langkah, aku mengurungkan niatku dan berbalik arah. Apa aku ke pusat kota saja ya? Hmm...
Aku berjalan ke daerah Plantage Kerklaan, tidak jauh dari hotelku dan di situlah aku menemukan halte trem. Kabel-kabel trem bersimpangan di atas halte tempatku duduk. Aku mulai membaca jadwal trem dan petunjuk arahnya.



Sebuah trem berwarna biru berhenti tepat di depanku, aku dan beberapa orang lain masuk bergantian. Aku merasa kagum, ya, kagum, melihat loket pembelian tiket trem ada di dalam tremnya sendiri. Di baliknya ada petugas yang duduk sepanjang waktu di sana menukarkan uang dengan tiket tujuan. 


Aku sama sekali tidak tahu tujuanku, walaupun tadi sudah melihat papan jadwal trem sekalipun. Tapi, Jansen bilang, aku harus lebih banyak tersesat, jadi dengan takut-takut dan sok berani, aku beli tiket ke Spui. Entah dimana tempat itu. Saat duduk, aku memegang tiketku dengan cemas. Aku sudah gila kali ya…sudah jam 8 malam, berada di negri orang, sendirian, dan sok-sok menyesatkan diri
Tidak sampai dua puluh  menit aku akhirnya sampai ke suatu tempat bernama Leidseplein. Aku mengingat-ingat kembali jalan yang kuambil tadi tanpa rencana, melewati daerah dengan nama-nama aneh seperti Spui, Koningsplein dan akhirnya Leidseplein. Dari Leidseplein aku memutuskan berjalan kaki. Rasa cemasku menjadi-jadi karena aku baru menyadari bahwa aku berjalan kaki di tempat tak dikenal dan sekali lagi sok berani untuk turun dari trem dan berjalan kaki, Aku terus-menerus berjalan cepat dan di otakku terus-menerus muncul skenario kemungkinan-kemungkinan terburuk yang dapat terjadi padaku. Dicopet, diculik, dibawa ke Red District atau bahkan… Hiiyyyyyy! Apa sih?! Come on, Katya! Such a loser you are jalan kaki di malam hari saja takut! Huff..katanya mau sok ‘tersesat’? Huuuu..
Aku berjalan kaki sebentar sampai akhirnya aku melihat keramaian. Musik terdengar keras tapi aku tidak tahu dari mana arahnya. Aku sampai pada sebuah bangunan besar dengan lampu-lampu warna-warni yang kelihatan bersinar terang dari jauh, dari tempatku berdiri. Aku mencoba mencari tahu dan mulai berjalan menyusuri cornblock yang agak menanjak. Tempat ini berbentuk setengah lingkaran. Semacam atrium tapi terbuka. 




Di pinggir-pinggirnya terdapat souvenirwinkels (Toko cinderamata), di depannya berupa taman yang dipenuhi meja-meja dan kursi-kursi taman dari besi dan beberapa diantaranya berpayung. Di bawahnya duduk anak-anak muda seusiaku, atau mungkin lebih muda yang sedang tertawa-tawa. Mereka duduk bergerombol berhimpitan, memegang botol bir di satu tangan dan rokok di satunya. Toko-toko cinderamata sudah tutup, karena di Belanda, hampir semua tokonya hanya buka sampai jam 6 sore.  Di sebelah toko cinderamata terdapat semacam papan permainan raksasa yang dibuat untuk dinikmati pengunjung. Diantaranya adalah papan permainan catur raksasa dimana pion-pion hitam putihnya berukuran sebesar anjing poodle dan juga permainan lainnya yang menggunakan dadu berukuran sangat besar. 


Suasananya menyenangkan, mayoritas pengunjungnya adalah anak-anak muda. Yang sebagian ‘sadar’ dan sebagian lainnya berteriak satu sama lain karena ‘menunggu sadar’. Tapi, karena saking serunya mereka bermain dan bercengkerama, tanpa sadar aku ikut tersenyum dan terkekeh melihat kelakuan mereka yang seru sendiri.


Bangunan dengan musik keras dan lampu warna-warni yang tadi kulihat dari jauh ternyata adalah Hard Rock Café, terselip di antara toko cinderamata dan tertutup oleh anak-anak muda yang kian ramai berkumpul. Aku lapar…tapi masa makan di Hard Rock Cafe? Masa jauh-jauh ke Belanda makan di HRC, di Jakarta kan juga ada. Namun, sepertinya bunyi perut mengharuskan aku untuk melangkahkan kakiku dan masuk ke dalam. Sudah bisa ditebak, tidak di negara ini atau di negaraku, yang namanya Hard Rock Café pasti ramai dan dudukpun harus antri. Aku mendekati salah satu pelayan yang bertato dan berambut gondrong untuk mendapatkan meja kosong, dan yang sudah seperti aku kira, aku masuk ke dalam daftar tunggu. Pelayan itu memberikanku alat elektronik sejenis walkie-talkie, sejenis alat komunikasi yang memudahkannya untuk menghubungiku saat aku menunggu di tengah keramaian. Aku baru akan menanyakan padanya bagaimana cara menggunakan alat ini. Namun, ia sudah disibukkan dengan turis dari Jepang yang memanggilnya berkali-kali. Aku gaptek sekali sih jadi orang.. Heran. 

Sambil membawa alat itu dan lalu memasukannya di kantong celana jeans-ku, aku berjalan ke sisi belakang kafe. Pemandangannya indah sekali. Hard Rock Cafe berdiri di depan kanal persis. Walaupun agak sempit, namun meja-meja makan berderet rapi, tersedia untuk pengunjung yang ingin menikmati pemandangan di pinggir kanal. Beberapa speedboat kecil terparkir di sisi-sisinya. 


Dari arah kiriku ada speedboat yang berjalan lambat, mengangkut  lima orang anak muda yang memegang bir di tangan mereka dan menyalakan benda kecil mirip boombox keras-keras sambil berteriak ke arah aku dan beberapa pengunjung lain di sebelahku. Mereka sepertinya sedang merayakan sesuatu dan seolah-olah mengajak kami untuk ikut berseru bersama mereka. Tawa mereka pecah saat aku dan pasangan di sebelahku menyambut teriakan mereka. Akhirnya mereka melambaikan tangan mereka saat melewati kami. Aku melihat mereka menjauh, mereka saling bergandengan dan berdansa mengikuti suara musik, yang lainnya bercanda tawa, dan yang satunya...hmmm masih melihat ke arahku... wajahnya mirip sekali dengan..ya..Jansen. Sekilas aku ingat kepadanya. Bertanya-tanya kepada diriku sendiri mengenai keberadaan dia saat ini. Sedang apa dia saat ini? Sedang bersama siapa? Sedang bersama perempuan lain yang seperti akukah? Perempuan yang dibawanya dalam keingintahuan besar tentangnya yang mendalam dan keinginan kuat untuk tenggelam dalam pemikiran-pemikirannya tentang hal-hal kosmis. Misterius. Di luar logikaku. Ya, aku memang manusia emosional dan suka terbawa perasaan atau suasana, tapi untuk hal-hal yang belum pernah terjadi atau aku alami, menurutku adalah hal-hal yang tidak logis. Aku tidak mempercayainya kecuali aku mengalaminya. Aku tidak mempercayainya kecuali ada di depanku dan aku melihatnya sendiri dengan mata kepalaku sendiri. Aku tidak mempercayainya. Atau aku tidak mau mempercayainya?, suara hatiku bertanya padaku.
Ada suara musik mengalun samar-samar. Eh, bukan musik, tapi sejenis ringtone. Aku nengok kanan dan kiri. Pasangan tadi sudah masuk ke dalam, dan aku sekarang sendirian. Darimana ya bunyinya? Aku dengarkan dengan seksama dan mencari-cari sumbernya, ternyata sumbernya adalah celanaku sendiri. Hahaha bodoh! 
Aku tarik dari sakuku, walkietalkie tadi, aku tekan dengan asal tombol-tombolnya, dan ada suara berat yang berkata "Miss Katya, your table's ready."
Aku buru-buru masuk dan mencari pemuda berambut gondrong tadi. Ia sudah melihatku dan aku memberikan tanda padanya dan mengangkat tanganku. Aku mengikutinya. Ia mengarahkan aku untuk duduk di pojok belakang. Ada meja yang sudah kosong. Ia memberikanku menu dan memberitahuku bahwa jika aku sudah siap memesan aku tinggal memanggil namanya, dia menyebutkan dirinya sebagai Jordan. Aku mengangguk pelan dan mulai membuka menu. Hmm... apa yah yang enak?
"Dua kali dalam sehari aku ketemu kamu. Kebetulan yang aneh ya, Kat?" Aku mendongak pucat, seperti sedang melihat hantu. Iya..dia hantu. Hantu masa lalu...Please, deh! Kali ini aku bukan ingin menangis, malah agak kesal dengan semesta. Anehnya, aku tidak merasakan apa yang kurasakan saat di bandara tadi sore. Aku tidak gelagapan, atau lemas, tidak deg-degan, tidak sedih. Sejujurnya, aku tidak merasakan apa-apa. Numb. Really numb.
Aku tidak berkata apa-apa saat ia 'mempersilahkan dirinya sendiri' duduk di depanku. Dengan masih tersenyum seolah tidak ada yang aneh. Aku mengernyitkan dahi, dan dalam hati mengomel lah..memang ada yang menyuruhnya duduk bareng sama aku?
Diego tersenyum. Damn! Senyumnya... ah Katya! Jangan salah fokus!
"Apa kabar Katya?", suaranya menghangat. Matanya memandangku lurus. Aku tidak bergerak. Aku merasa dia memperhatikan setiap gerak-gerikku. Setiap gerakan mataku, rambutku, bahuku, tanganku, jariku, semuanya. Aku mencoba sok tenang.
"Baik." Jawabku simple dan datar. Aku memberanikan diri menatap bib..ups mata! Mata, Katya!
"So, apa yang ngebuat kamu ke Amsterdam? Bukannya kamu dulu sering bilang ya kamu takut ke luar negri sendirian?", selidiknya ingin tahu. Diego bertanya lalu mengalihkan pandangannya ke menu yang berada di tengah kami, menariknya dan membacanya.
Kamu! Kamu yang membuatku nekat. Kamu yang membuatku pergi ke sini. Lari. Lari darimu... Aku berteriak dalam hati, saat Jordan menghampiri kami dan mencatat pesanan kami. Mendadak aku menjadi kesal, dan tidak betah. Aku tidak sabar keluar dari sini. Aku bisa merasakan ketidaktenanganku. Alisku berkerut dan entah seperti apa lagi ekspresiku sekarang. Setelah Jordan pergi, Diego menatapku lagi. Dia memandangku lama, meletakkan kedua tangannya di bawah dagunya. 
"Terakhir kali kita ketemu.." belum Diego melanjutkan, aku sudah memotong perkataannya,
“Yang besoknya kamu pergi? Tanpa ngomong? Dan ngga pernah menghubungi aku lagi berbulan-bulan sampai sekarang?” Jawabku cuek dan datar. Tanganku meraih ice tea yang baru datang dan menyeruputnya.
Wajah Diego berubah menjadi serius. “Aku…….ngga kemana-mana, Katya.”
Aku hampir tidak mendengarkannya. Rasanya seperti aku tidak mau tahu lagi. Rasanya seperti aku menyerah karena capek. Hatiku capek.
Tangannya maju ingin meraih tanganku, dengan reflek aku menarik tanganku salah tingkah. Diego lalu mengepalkan tangannya dan menghela nafas.
Saat itu Jordan datang dan membawakan pesanan kami. Aku dan Diego sama-sama makan dalam diam. Aku tidak menatapnya lagi. Aku menatap apa saja yang lain selain matanya. Aku ngga mau biarin dia bersikap seolah-olah dia ngga menyakiti aku…seolah-olah OK aja baginya untuk mengulang pola ini lagi. Dia datang, kami bersenang-senang, dia bersikap seolah-olah aku pacarnya, tapi tentu saja aku bukan pacarnya karena tidak pernah kita bicarakan ‘label’ itu. Bukan berarti aku harus seperti anak sekolah yang meminta ‘ditembak’, tapi aku perlu kejelasan. Di situ logikaku selalu menyadarkanku. Tapi…, setiap dia datang lagi, aku terbawa perasaan dan aku menyukainya, aku melupakan akal sehatku, karena rasa kangenku lebih besar, rasa sayangku, hasratku, keinginanku untuk dicintai olehnya lebih besar. Menyukai perhatiannya padaku, menyukai caranya berbicara dan memandangku, dan caranya sekilas melindungiku. Aku mau dia. Semuanya tentang dia. Tapi caranya. Caranya, perilakunya, perkataannya, semua bertolak belakang dan membingungkan. Sekali. Dua kali.Tiga kali. Lama-lama rasanya seperti dipermainkan. Nggak! Ngga bisa lagi! Ngga mau lagi! Aku teriak dalam hati.
“Aku duluan ya.” Aku berdiri dan meletakkan beberapa Euro di atas meja. Aku masih ingin sekali menghabiskan waktu bersama Diego, tapi, yang aman bagiku, bagi hati ini, adalah menjauhinya. Mata Diego melihatku seolah ia akan kehilangan sesuatu miliknya yang paling berharga. Ya, dia sepenyayang itu. Makanya aku sulit meninggalkannya, makanya aku rela beberapa tahun ini ada untuknya. Saat aku akan meninggalkannya dia menarik tanganku, “Katya, tunggu!” Suaranya terdengar panik.                                              
“Apa? Nothing’s change kan? Aku tetap nunggu kamu? Kamu dateng sesuka kamu, pergi sesuka kamu. Like always.” Kataku jutek.
“Nunggu? Aku ngga ngerti.”
“Iya, kamu emang ngga pernah ngerti!” Aku melepaskan pegangan tangannya dan melangkah cepat.”
“Katya! Tunggu dulu, kamu mau kemana?”
“Katya!” Diego masih mengejarku.

Aku buru-buru keluar dari kafe, menembus keramaian, menabrak beberapa orang mabuk yang berkumpul di luar. Aku terus berjalan cepat tak berhenti, dadaku membuncah dan penuh dengan emosi yang siap keluar. Air mata ini datang lagi. Kali ini langsung membasahi pipi-pipiku. Aku terus berjalan cepat. Aku berhenti di depan sebuah taman yang kini sudah sepi, yang hanya memperlihatkan nyala kunang-kunang dan lampu-lampunya. Badanku lemas, gemetar,dan mencoba mengumpulkan potongan-potongan kejadian tadi. Menguatkan diri.
            “Katya!”, Diego di belakangku. Ternyata dia mengikutiku. Mengejarku.
“Apa?!” Aku teriak tanpa memalingkan wajah dan tubuhku ke arahnya dan melanjutkan berjalan lagi pergi darinya.
“Tunggu!” Diego mencoba mensejajarkan langkahnya dengan langkahku.
Aku menoleh dan menghadapnya. Aku juga tidak tahu kenapa aku jadi begini berani melawannya, 
“Iya! ‘Tunggu’! Hanya itu yang aku lakuin selama ini. Aku ngerasa tolol!” , kali ini tangisku makin deras.
“Dengerin dulu…Dengerin aku.” Aku menoleh sebentar.
“Dengerin apa? Tentang bagaimana kamu terus cerita, bilang kalau kamu terus mencari? Selalu bilang kamu ingin punya pasangan, ingin menikah, ingin mencintai seseorang? Mencari apapun itu yang kamu cari, tapi di saat yang sama kamu ngga pernah puas, selalu ngasih jarak dengan siapapun yang dateng ke kamu, gitu?”
“Katya..” Diego memelankan suaranya
“Nggak! Aku ngga mau denger lagi!” Suaraku membentaknya keras dan terdengar gemetar. Seluruh badanku rasanya tegang. Semua yang kurasakan selama ini akhirnya tumpah sekarang.
Aku masih menangis saat aku membalikan badanku. Aku harus pergi dari sini. 
“Aku capek!!! Kamu ngebuat aku sayang sama kamu, nunggu kamu, selalu nyiapin diri aku untuk jadi tempat kamu pulang, kamu buat aku selalu ingin perhatian sama kamu, pengen lindungin kamu, pengen membahagiakan kamu, pengen selalu ada buat kamu..” Saat aku mengucapkan semua itu keras-keras, aku baru menyadari, ternyata aku yang salah! Aku yang selama ini mengikatkan diriku sendiri kepada Diego. Aku yang selama ini terlena dengan pandanganku sendiri dengan sosok seorang Diego. Sosok sempurna yang fiktif. Ternyata yang memiliki ekspektansi tinggi itu aku! Aku yang meletakkan diri disitu, di tempat paling rapuh, bersedia untuk disakiti, digantung, diabaikan. Ternyata aku yang salah selama ini! Bukan Diego.
Tangisku makin jadi, aku menggeleng-gelengkan kepalaku seolah aku mengasihani diriku sendiri, berpikir bagaimana diriku sendiri bisa membiarkan semua ini terjadi. Terjadi terlalu lama.
Aku tidak lagi bisa merasakan angin malam yang dingin, yang berhembus menerpa wajahku. Tiba-tiba, Diego memelukku dari belakang. Ia melingkarkan tangannya dan memelukku dari belakang, menyelimutiku dengan tubuhnya. Aku bisa merasakan dia gemetar, namun di saat yang sama pelukannya erat, sampai aku bisa mendengarkan detak jantungnya yang berdegup cepat dari belakang punggungku. Aku tidak balik memegang tangannya. Aku tidak punya tenaga untuk apapun. Aku menyerah. Aku terus menangis. Kali ini mulutku tertutup rapat. Diego merapatkan kepalanya kepada kepalaku, dan berbisik, "Katya, jangan nangis lagi.."
Diego membalikkan badanku, kini kami berhadapan, dia menatapku lemah, tersenyum sakit. Matanya meredup dan melembut. Untuk sesaat, aku rasa waktu berhenti. Kakiku kaku. Pertahananku hilang sudah. Aku memperhatikan wajah Diego, Diego yang aku sayang, yang aku cinta, yang aku mau. Diego-ku. Dengan ragu-ragu Diego maju mendekat. Tangannya diletakkan di pipi-pipiku. Ibu jarinya menyapu daguku lembut. Aku bersumpah aku bahkan tidak menyadari angin semakin kencang, daun-daun berjatuhan, badanku kedinginan, dan hujan rintik mulai jatuh saat Diego mendekatkan dan menempelkan bibirnya ke bibirku. Ia menciumku! Ia menciumku seolah-olah merindukanku lama, seolah-olah aku miliknya, dan seolah-olah dia milikku. Semua rasa sakitku hilang. Semua amarahku sirna. Seketika hanya ada aku dan dia. Bajunya basah, begitu juga aku. Hujan turun deras tapi tidak ada satupun dari kami yang peduli. Tidak satupun dari kami yang ingin beranjak. Dan sekali lagi, aku serahkan hati ini padanya. My whole heart... 
(to be continued)

*